Kamis, 09 Juni 2011

METODE PEMAHAMAN HADIS

Oleh Suprizen, MA


I. Metode Mukhtalîf al-Hadîts
Apabila terdapat hadis-hadis maqbûl yang ikhtilâf, maka metode pemahaman dan penyelesaiannya adalah:
a) Melakukan kompromi (al-jam`u wa al-taufîq), yaitu menelusuri titik temu kandungan makna masing-masingnya sehingga maksud yang dituju oleh salah satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Cara yang dilakukan adalah;
1. Penyelesaian berdasarkan kaedah ushûl, yaitu memahami hadis Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan dan kaedah-kaedah ushûl terkait yang telah dirumuskan oleh para ulama.
2. Penyelesaian berdasarkan pemahaman kontesktual, yaitu memahami hadis-hadis Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatar belakangi munculnya hadis-hadis tersebut.
3. Penyelesaian berdasarkan korelatif, yaitu hadis-hadis yang mukhtalîf yang menyangkut satu masalah dikaji bersama hadis lain yang terkait, dengan memperhatikan keterkaitan makna antara satu dengan yang lainnya.
4. Penyelesaian berdasarkan takwil, yaitu menakwilkannya dari makna lahiriyah yang tampak bertentangan kepada makna yang lain sehingga pertentangan yang tampak tersebut dapat ditemukan titik temu atau pengompromiannya.
b) Penyelesaian dalam bentuk nasakh; yaitu mengkaji hadis-hadis yang tampaknya bertentangan yang tidak dapat dikompromikan, dengan mengkaji kronologi (perselangan waktu) munculnya, untuk kemudian dapat diketahui mana yang nasakh dan mana yang mansûkh.
c) Penyelesaian berdasarkan tarjîh; yaitu, membandingkan hadis-hadis yang tampak bertentangan, yang tidak bisa dikompromikan dan tidak pula terkait nâsikh dan mansûkh, dengan mengkaji lebih jauh hal-hal yang terkait dengan masing-msingnya agar dapat diketahui manakah sebenarnya diantara hadis-hadis tersebut yang lebih kuat atau yang lebih tinggi nilai hujjah-nya dibandingkan dengan yang lain, untuk selanjutnya depegang dan diamalkan yang kuat dan ditinggalkan yang lemah (lawannya). Hadis (dalil) yang lebih kuat disebut sebagai dalil yang râjih sedangkan yang lainnya (yang lemah) disebut marjûh.
d) Penyelesaian dalam bentuk tannawwu` al-`i`bâdat, yaitu hadis-hadis yang terkait masalah ibadah yang tampaknya mukhtalîf, yang selanjutnya diamalkan yang lebih utama adalah yang lebih tinggi kualitas hadisnya bukan berarti tidak mengamalkan.

II. Metode al-Maudhû`iy
a. Pengertian Metode al-Maudhû`iy
Metode al-maudhû`iy berasal dari dua kosa kata yaitu metode dan al-Maudhû`iy. Metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti “cara atau jalan”. Dalam bahasa Inggris kata ini diartikan dengan “method” dan dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan thariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan terfikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya). “cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan“ Jadi dapat disimpulkan bahwa metode adalah jalan atau cara melakukan atau membuat sesuatu dengan sistem dan melalui prosedur untuk memperoleh atau mencapai tujuan yang dimaksud.
Bila dikaitkan metode dengan studi terhadap hadis-hadis khususnya mengenai pemahaman hadis, maka dapat diartikan dengan “suatu cara kerja yang teratur dan tersistem dalam mencari makna dengan baik dalam rangka memudahkan pelaksanaannya. Dengan kata lain untuk mencapai pemahaman yang benar tentang pesan-pesan apa yang dimaksudkan dalam hadis-hadis Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam.
Sedangkan al-maudhû`iy (الموضوعى) berasal dari bahasa Arab, yaitu ism maf`ûl (kata kerja) وضع yang berarti masalah atau pokok perkataan. Dalam pemakaiannya dapat berarti mendahulukan, meletakan, menyatukan, memukul, menyusun atau mengarang, memasukan, membuka, dan melahirkan. Sedangkan huruf الياء diakhirnya adalah ya nisbah yaitu sesuatu yang di-nisbah-kan (dibangsakan) kepada pokok permasalahan. Dengan demikian, secara etimologi al-maudhû`iy adalah suatu tema pembahasan atau pokok pembicaraan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemahaman hadis dengan metode al-Maudhû`iy berarti suatu pemahaman terhadap hadis-hadis yang memiliki satu tema pembahasan dengan cara kerja yang tersistem dengan baik dan teratur dalam rangka memudahkan untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan oleh hadis Rasûlullaâh shallallâhu `alaihi wasallam.
Metode pemahaman hadis secara al-maudhû`iy merupakan metode pemahaman yang baru terhadap hadis-hadis Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam. Para ulama hadis terdahulu dalam memahami hadis dapat diklafikasikan menjadi dua macam, yaitu: Metode pemahaman hadis tradisional yang terdiri dari :
a. Metode analisis, yaitu memahami hadis-hadis Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam hadis-hadis yang dipahami serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya.
b. Metode global, yaitu memahami hadis-hadis secara ringkas tetapi merepresentasikan makna literal hadis, dengan bahasa popular dan mudah dimengerti.
c. Metode kompratif, yaitu memahami hadis-hadis dan membandingkan hadis-hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama, serta membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam men-syarah hadis.
2. Metode pemahaman hadis moderen yang terdiri dari :
a. Pemahaman dengan pendekatan ilmiyah, yaitu memahami hadis dengan istilah ilmiyah yang terdapat dalam hadis dan mengeksplorasi berbagai ilmu dan pandangan filosofis yang dikandungnya.
b. Memahami dengan pendekatan filosofis, yaitu memahami hadis-hadis Rasûlullâh dengan membangun proposisi universal berdasarkan logika.
Dilihat dari sisi metodologis, pemahaman hadis dengan metode al-maudhû`iy merupakan pengembangan dari penyelesaian ikhtilâf al-Hadîts. Hanya saja, dalam metode al-maudhû`iy dalam pemahaman kasus atau tema tertentu melibatkan semua hadis yang setema atau berhubungan hadis. Kemudian, penyelesaian ikhtilâf al-hadîts, sesuai dengan namanya, hanya pada kasus-kasus yang memperlihatkan adanya perbedaan makna hadis. Sementara metode al-maudhû`iy lebih luas lagi, mencakup semua kasus yang tidak ada ikhtilâf di dalamnya. Ini dilakukan untuk menemukan makna substansial dari setiap kasus hadis yang dibahas dan di analisis.
b. Langkah-langkah Metode al-Maudhû`iy
Sebelum menentukan metode pemahaman hadis Rasûlullâh secara al-maudhû`iy atau tematik secara konkrit, maka dibutuhkan pendapat para ahli yang sudah merintis secara teoritis maupun praktis mengenai metode ini. Di antara para ahli yang sudah mulai menggunakan baik secara teoritis maupun secara praktis adalah: Yûsuf al-Qardhâwiy, Daniel Juned, Edi Safri, Buchari.
Menurut Yûsûf al-Qardhâwiy ada beberapa langkah untuk mengambil pemahaman hadis-hadis Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam yang baik dan yang benar yaitu:
1) Memahami Sesuai dengan petunjuk Al-qur’an.
2) Mengumpulkan hadis-hadis yang satu tema.
3) Menggunakan cara jam`u dan al-arjîh diantara hadis-hadis mukhtalîf.
4) Memahami hadis sesuai dengan latar belakang hadis tersebut, Situasi dan kondisinya, serta tujuan hadis tersebut disampaikan oleh Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam.
5) Menjelaskan antara sarana yang berubah dan tujuan yang tetap.
6) Membedakan antara yang hakikat dan majaz dalam pemahaman hadis-hadis Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam.
7) Membedakan antara yang ghaib dan yang nyata.
8) Memastikan makna istilah kata dalam hadis.
Langkah-langkah di atas tidak secara tegas dinyatakan oleh Yûsuf al-Qardhâwiy sebagai pemahaman hadis dengan metode al-maudhû`iy tetapi secara praktek dia telah melaksanakannya.
Sedangkan menurut Daniel Juned metode pemahaman hadis-hadis Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam dengan al-mahdhû`iy mencakup beberapa aspek utama yaitu:
1) mengiventarisasi hadis-hadis yang setema dan maqbûl (shahîh atau hasan) dari semua sumber atau kitab hadis yang ada.
2) menata hadis sejauh data yang ada dalam urutan sejarah wurûd-nya.
3) meneliti hadis-hadis yang mencantumkan rekaman asbâb al-Wurûd-nya.
4) menganalisis makna hadis dengan melibatkan seluruh teks dari semua riwayat yang ada.
5) jika dalam kasus yang diteliti terlihat adanya Ikhtilâf, maka pemahamannya dilakukan dengan menerapkan kaedah-kaedah ikhtilâf al-Hadis dengan mempertimbangkan riwayat yang ada dalam kasus yang dibahas.
Buchari M juga merumuskan langkah-langkah atau metode pemahaman hadis-hadis Rasûlullâh secara al-Mahdhû`iy (tematik) yaitu: Penghimpunan hadis-hadis tentang tema yang dipilih;
1) Penentuan orisinal hadis yang dijadikan sample (kritik eiditis);
2) Pemahaman makna hadis dengan meneliti; (a) komposisi tata bahasa hadis dan bentuk pengungkapannya; (b) korelasi konteks kemunculan hadis secata sosio-historis-psikologis dan (c) Pengambilan spirit atau pandangan hidup yang terkandung dalam keseluruhan teks hadis (kritik eiditas dan praksitas).
Dari beberapa langkah tentang metode pemahaman hadis-hadis Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam secara al-maudhû`iy (tematik) yang sudah dirumuskan oleh para ahli hadis di atas, agaknya perlu disimpulkan secara praktis tentang langkah-langkah yang dilakukan dalam metode al-maudhû`iy untuk memahami hadis-hadis Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam secara benar dan utuh. Langkah-langkahnya adalah :
1) Menentukan tema hadis yang akan dipahami kemudian dikumpulkan hadis-hadis tersebut secara menyeluruh.
2) Menentukan kualitas hadis dan menginventarisasi hadis-hadis yang maqbûl (shahîh dan hasan).
3) Mendata asbâb al-wurûd seluruh hadis-hadis yang akan dipahami dan mengklafikasikannya sesuai dengan urutan sejarah wurûd-nya.
4) Mendalami pemahaman makna hadis tersebut melalui tata bahasa hadis dan bentuk pengungkapannya yang disesuaikan dengan petunjuk Al-qur’an, korelasi konteks, kemuculan hadis secara sosio-historis-psikologis dan pemahaman ulama dengan berbagai pendekatan kaedah-kaedah yang ada seperti jam`u wa al-taufiq terhadap hadis-hadis yang mukhtalîf, penentaun muthlaq dan muqayyad, khusus `am serta diikuti pemahamannya dengan memperhatikan konteks situasi dan kondisi waktu atau zaman yang dilalui dengan tidak mengubah substansi atau maksud utama hadis-hadis tersebut disampikan oleh Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam. Wa Allâh A`lam.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abû Yâsir al-Hasan Al-`Ilmiyy, (selanjutnya disebut Abû Yâsir), Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyyah tt: ttp, t.th.

Abû `Abd Allâh Muhammad Ibn `Abd Allâh al-Naisabûriy (selanjutnya disebut al-Hâkim), naskah di-tahqîq oleh al-Sayyid Mu`azzam Husain, Ma`rifah `Ulûm al-Hadîts, Beirût: Dâr al-Kutub al`Ilmiyyah, 1977 H/ 1397 M, cet. Ke 2.

Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab - Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Buchari M, Metode Pemahaman Hadis: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Nuansa Madani, 1420 H/ 1999 M). Cet 1

Edi Safri, al-Imâm al-Syâfi`iy Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalîf, (Padang: IAIN Press Imam Bonjol, 1999), cet 1.

Daniel Juned, Paradigma Studi Ilmu Hadis (Rekonstruksi Fiqh al-Hadis), (Banda Aceh: Citra Karya, t.th).

Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, di Dalam Koentjaraningrat (Ed), Metodologi Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977.

Ibn Manzhûr, Muhammad ibn Mukarram al-Afrîqiy al-Mishriy (disebut juga Ibn al-Manzhûr), Lisân al-‘Arab, Beirût: Dâr al-Shadr, tth, cet. Ke-I.

Al-Jamâl al-Dîn Al-Qasimiy, (selanjutnya disebut al-Qasimiy), Qawâ`id al-Tahdîts min Funûn Mushthalâh al-Hadîts, [t.t]: Isa al-Babiy al-Halabiy wa Syurakah, 1380 H/ 1961 M.

Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur`an; Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Rusydi, Air Susu Ibu (ASI) dalam Perspektif Al-qur’an, (Padang: IAIN-IB Press, 2002), cet.1.

Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. Ke-1, h. 580-581 dan lihat, Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), cet. Ke-9.

Yûsuf al-Qardhâwiy (disebut juga al-Qardhâwiy), Kayfa Nata`âmal ma`a al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Al-Qâhirah: Dâr al-Syurûq, 2002), cet. Ke-2.

----------------------, al-Madkhal Li Dirâsah al-Sunnah al-Nabawiyyah, Qahirah: Maktabah Wahbah: 1991, cet. Ke-2.

Senin, 06 Juni 2011

HUKUM MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERDO’A

Oleh: Suprizen, MA
  بِسْمِ اللَّهِ الرَّحمنِ الرَّحِيمِ

Menurut sebagian ulama bahwa diantar a adab berdo’a yang dianjurkan adalah mengangkat kedua tangan, pendapat mereka berdasarkan kepada dalil-dalil yang shahîh bahwa mengangkat kedua tangan waktu berdo’a adalah sunnah yang dianjurkan. 

Sebagian ulama lain melarang untuk mengangkat tangan saat berdo’a, karena memang ada dalil-dalil shahîh yang menjadi dasar atas larangan itu. Sehingga sampai ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah bid'ah. Yang membuat terjadinya perbedaan pendapat adalah dalam mengambil kesimpulan hukumnya. Hadis-hadis yang menjadi pegangan mereka (membolehkan dan melarang) adalah hadis shahîh tetapi diantara hadis shahîh itu terdapat ikhtilâf (bertentangan secara makan zahirnya bukan makna sebenarnya), hadis-hadis shahîh yang saling bertentangan itu antara lain :
قَالَ أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِىُّ دَعَا النَّبِىُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ . وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رَفَعَ النَّبِىُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ »
Artinya: “Abû Musâ al-Asy`ariy berkata: “Nabi SAW berdo’a kemudian beliau mengangkat kedua tangannya, dan aku telah melihat putih ketiaknya (ketika beliau berdo’a mengangkat tangannya )”. Dan ibn `Umar berkata Nabi SAW mengangkat tangannya dan berdo’a “Allâhumma innî abra-u ilaika mimmâ shana’a Khâlid”. (HR. al-Bukhâriy).

Menurut pakar hadis, hadis di atas memiliki syawahid (banyak hadis lain yang menguatkannya). Dengan melihat banyaknya hadis yang memiliki kemiripan makna. Para pakar hadis menetapkan bahwa status hadis berdo’a dengan mengangkat kedua tangan mutawâtir ma’nawiy sehingga tidak perlu diragukan ke-shahîh-annya.
Hadis di atas shahîh, karena diriwayatkan oleh pakar kritik hadis nomor satu di dunia yaitu al-Bukhâriy. Jelas dan tegas isinya, Abû Mûsâ al-Asy'ariy melihat Rasûlullâh SAW sedang berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, bahkan sampai kedua ketiaknya tampak terlihat dan berwarna putih.

Hadis di atas menjelaskan bahwa mengangkat kedua tangan saat berdo’a pernah dilakukan oleh Rasûlullâh SAW. Hadis berikutnya masih menguatkan hadis di atas:
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِىُّ حَدَّثَنَا عِيسَى يَعْنِى ابْنَ يُونُسَ حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ - يَعْنِى ابْنَ مَيْمُونٍ صَاحِبَ الأَنْمَاطِ حَدَّثَنِى أَبُو عُثْمَانَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ « إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا ».
Artinya: “Dari Salmân al-Farisiy bahwa Rasûlullâh SAW bersabda: "Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Hidup ‏dan Maha Mulia, Dia malu kepada hamba-Nya, bila hamba itu mengangkat kedua tangannya, namun mengembalikannya dengan tangan kosong." (HR. Abû Dawud, al- Tirmidziy dan Ibnu Mâjah dari Salmân al-Farisiy).

Meskipun tidak tercantum di dalam shahîh al-Bukhâriy atau shahîh Muslim, namun para ulama menyatakan bahwa hadis ini tetap masih bisa diterima. Hadis ini bisa juga ditemukan di dalam kitab al-Targhîb wa al-Tarhîb jilid 2 halaman 195. Isi hadis ini menyebutkan tentang tata cara berdo’anya seorang hamba, yaitu dengan mengangkat kedua tangannya. Jadi, jelaslah bahwa mengangkat tangan saat berdo’a didasari oleh dalil yang bisa dipertanggung jawabkan. Bahkan menyapukan tangan ke muka juga dianjurkan, sesuai dengan hadis berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ عِيسَى الْجُهَنِىُّ عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِى سُفْيَانَ الْجُمَحِىِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ.
Artinya: “Dari `Umar ibn al-Khaththâb RA darinya, adalah Rasûlullâh SAW apabila mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, dia tidak meletakan kedua (tangannya) sehingga dia menyapu mukanya dengan kedua tangannya itu”. (HR. al-Tirmidziy dan Abû Dawud).

Menurut al-Tirmidziy hadis tersebut adalah shahîh gharîb, Syekh al-Bâniy mengatakan bahwa hadis tersebut adalah dhaîf. Menurut Ahmad ibn Hanbal, al-Nawâwiy, ibn Mubârak, al-Anbariy, Sufyân al-Tsawriy hadis dha`îf boleh dipakai untuk mengajarkan seseorang, mengancam (fadhilah), dalam soal adab, syari`ah, ketatasusilaan, kisah tauladan, sejarah peperangan dan lain-lain. 
Hadis yang menyebutkan bahwa Nabi SAW berdo’a tidak mengangkat kedua tangannya. Bunyi hadis tersebut antara lain:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَابْنُ أَبِى عَدِىٍّ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى شَىْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِى الاِسْتِسْقَاءِ ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ.
Artinya: “Dari Anâs ibn Mâlik ia berkata bahwa Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam do’anya, kecuali dalam shalat istisqâ', dan sesungguhnya beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih ketiaknya. "(HR. al-Bukhâriy dan Muslim).

Hadis inilah yang kemudian sebagian ulama mengatakan bahwa berdo’a dengan mengangkat kedua tangan hukumnya terlarang atau bid'ah. Sebab Anâs ibn Mâlik mengatakan bahwa mengangkat kedua tangan itu hanya dilakukan pada shalat istisqâ' saja. Sehingga kalau dilakukan di luar itu, hukumnya tidak boleh.
Hadis berikutnya lebih ekstrim lagi, sebab isi hadis ini melarang mengangkat tangan saat berdo’a bahkan ketika shalat istisqâ' sekalipun. Bunyi hadis tersebut adalah:
وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ.
Artinya: “Dari `Umârah ibn Ruwaibah dia berkata: aku melihat Bisyra ibn Marwân di atas mimbar mengangkat kedua tangannya. Maka dia berkata, "Semoga Allâh memburukan kedua tangan ini, sesungguhnya aku melihat Rasûlullâh SAW tidak menambahkan atas dia katakan dengan tangannya seperti ini. Dan Beliau menujukkan jarinya untuk bertasbih. (HR. Muslim).

Dari keterangan dalil-dalil di atas setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda: Pendapat pertama, mengangkat tangan ketika berdo’a hukumnya sunnah; Pendapat kedua, mengangkat kedua tangan ketika berdo’a hukumnya haram kecuali dalam Shalat Istisqâ'; Pendapat Ketiga, mengangkat kedua tangan ketika berdo’a hukumnya haram dalam semua do’a.

Lalu apa jawaban kelompok pertama? Dan apa hujjah mereka untuk menjawab pengharaman dari kelompok kedua dan ketiga?

Mereka yang mensunnahkan untuk mengangkat tangan saat berdo’a mengatakan bahwa, hujjah kelompok kedua dan ketiga kurang kuat. Bukan karena hadisnya tidak shahîh, namun karena bentuk istimbath-nya yang lemah.
Kelemahan istimbath-nya adalah bahwa larangan itu semata-mata berdasarkan penilaian Anâs ibn Mâlik seorang, bahwa Nabi SAW tidak mengangkat tangannya saat berdo’a kecuali saat istisqâ'. Penilaian ini kurang bisa dijadikan argumentasi, lantaran hanya mengklaim seseorang. Apakah Anâs ibn Mâlik telah bertanya langsung kepada Nabi SAW bahwa diri beliau tidak pernah mengangkat tangan saat berdo’a di luar shalat istisqâ'? Apakah Anâs selalu mendampingi Rasûlullâh SAW sepanjang hidupnya?
Tentunya yang bisa diterima adalah pernyataan yang bersifat itsbat (penetapan), bukan yang bersifat nafyi (peniadaan). Sebagai ilustrasi, misalnya seorang anak berkata tentang ayahnya, "Saya pernah melihat ayah minum dengan tangan kiri." Kemungkinan besar pernyataan itu benar. Tetapi kalau anak itu berkata, "Saya belum pernah melihat ayah minum dengan tangan kanan", kemungkinan besar pernyataan itu salah. Karena ayahnya hidup lebih dahulu dari anak itu. Lagi pula, tidak selamanya si anak selalu mendampingi ayahnya ke mana pun dan di mana pun. Sangat boleh jadi di luar sepengetahuan si anak, si ayah pernah minum dengan tangan kanan.

Demikian juga pernyataan Anâs ibn Mâlik, kalau dia berkata pernah melihat Nabi berdo’a dengan mengangkat tangan, kemungkinan besar pernyataan itu benar. Tapi kalau beliau mengatakan belum pernah melihat Nabi SAW berdo’a dengan mengangkat tangan, pernyataan itu benar untuk ukuran seorang Anâs, tetapi tidak bisa diartikan bahwa Rasûlullâh SAW tidak pernah melakukannya di dalam hidupnya.

Apalagi ada hadis lainnya yang menjadi muqârin (pembanding), di mana secara tegas disebutkan bahwa beliau pernah melakukanya. Maka meskipun hadis itu shahîh dan Anâs pun juga tidak bohong, namun istimbath (penyimpulan) bahwa Nabi SAW tidak pernah berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya adalah penyimpulan yang kurang tepat.

Sebagai tambahan, klau dicermati lagi lebih dalam pada teks hadis Anâs, di sana disebutkan bahwa Anâs tidak pernah melihat Nabi SAW berdo’a dengan mengangkat tangan hingga ketiaknya terlihat. Titik tekannya pada kalimat “hingga ketiaknya terlihat”.

Boleh jadi yang dimaksud oleh Anâs ibn Mâlik adalah beliau tidak pernah melihat Nabi SAW berdo’a di luar shalat istisqâ' dengan cara mengangkat kedua tangan dengan tinggi ke atas hingga kedua ketiaknya terlihat. Tetapi kalau sekedar mengangkat tangan biasa, tidak tinggi yang menyebabkan ketiak sampai terlihat, tidak termasuk dalam hadis ini. Maka boleh jadi, hadis Anâs ini tidak melarang mengangkat tangan yang biasa saja. Hadis ini hanya melarang apabila mengangkat tangannya sampai tinggi hingga ketiaknya terlihat.

Kira-kira demikian alur berpikir masing-masing ulama. Setiap orang datang dengan hujjah dan hati bersihnya sekalian. Sehingga ketika pendapatnya disanggah oleh saudaranya, hatinya tetap suci. Para ulama itu tidak pernah marah atau tersinggung ketika ada ulama lain yang pendapatnya kurang sejalan. Sebaliknya, mereka justru saling menghargai, saling memuliakan dan saling belajar antara sesama mereka. Tidak saling menghujat atau memandang rendah. Sebab mereka adalah ulama bukan sekedar merasa jadi ulama.
Diantara ulama yang membolehkan berdo’a dengan mengangkat kedua tangan adalah al-Hâfizh ibn Hajar, ulama yang menulis kitab Fath al-Bâri, sebuah kitab yang menjadi syarh (penjelasan) kitab shahîh al-Bukhâriy. Di dalam kitab yang tebalnya berjilid-jilid itu, dia mengutip begitu banyak pendapat para ulama tentang kesunnahan mengangkat tangan saat berdo’a. Ibn Hajar menjelaskan, bahwa yang dinafikan adalah cara mengangkat tangan atau batasannya, bukan boleh mengangkat tangan itu sendiri. Imâm al-Thabarâniy menukil pernyataan dari Ibnu `Umar ra, dia berkata: “Hendaknya ketika berdo’a kedua tangan diangkat hingga sejajar dengan dada”. Adapun menengadahkan kedua tangan hingga melebihi kepala, maka tata cara ini dipraktekkan pada waktu tertentu seperti shalat istisqâ’ dan ketika mubâhalah. (Fath al-Bâri 12/430).

Selain itu ada juga Imâm al-Nawâwiy rahimahullâh. Di dalam kitabnya al-Majmû' Syarh al-Muhazzab menyebutkan bahwa mengangkat kedua tangan saat berdo’a (di luar shalat istisqâ') hukumnya sunnah. Satu lagi adalah Imâm al-Qurthubiy, ulama besar asal Cordova yang menulis kitab Tafsîr al-Jâmi' li Ahkâm Al-qur’an. Beliau sebenarnya tidak mengharuskan mengangkat tangan, namun beliau membolehkannya.
Terakhir, marilah dipandang masalah khilâfiyah ini secara elegan dan dewasa serta luas wawasan. Sekarang ini bukan zamannya lagi merasa benar sendiri dan mengklaim bahwa kebenaran itu hanya milik saya sendiri atau milik kelompok saya sendiri. Semoga Allâh SWT memberikan hidâyah, taufîq dan ilmu yang luas kepada kita dan menyatukan hati kita dalam iman dan persaudaraan. Âmin. Wa Allâh A'lam.

وَالحَْمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
SUMBER BACAAN

Muhammad ibn Ismâ`il Abû `Abd Allâh al-Bukhâriy al-Ja`fiy (selanjutnya disebut al-Bukhâriy), naskah di-tahqîq oleh DR. Mushthafâ Daib al-Baghâ, al-Jâmi’ al-Shahîh al-Mukhtashar, Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/ 1987 M.

Abî Husain Muslim ibn al-Hajjâj Al-Qusyairî al-Naisâbûrî (selanjutnya disebut Muslim), naskah di-tahqîq oleh Muhammad Fu`ad `Abd al-Bâqî’, Shahîh Muslim, Beirût: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-`Arabiy, t.th.

Abî `îsâ Muhammad ibn ‘Îsâ al-Tirmidziy (selanjutnya disebut al-Tirmidziy), Sunan al-Tirmidziy, Beirût: Dâr al-Fikr, tth.

Sulaimân ibn al-Asy`ab Abû Dâud al-Sajastâniy al-Azdadiy (selanjutnya disebut Abû Dâud), naskah di-tahqîq oleh Muhammad Muhayyiy al-Dîn `Abd al-Hamîd, Sunan Abiy Dâud, Beirût: Dâr al-Fikr, t.th.

Muhammad Nâshir al-Dîn al-Bâniy (selanjutnya disebut al-Bâniy), Mukhtashar Arwâ’ al-Ghalîl fiy Takhrîj Ahâdîts Manâr al-Sabîl, (Beirût: al-Maktab al-Islâmiy, 1405 H), cet. Ke-II.

Al-Sayyid Sâbiq (disebut juga Sâbiq), Fiqh al-Sunnah, Beirût: Dâr al-Fikr, 1403 H/ 1983 M, cet. Ke-IV.

Ahmad ibn `Aliy ibn Hajar Abû al-Fadhl al-`Asqlâniy al-Syâfi`iy (selanjutnya disebut ibn Hajar), Fath al-Bâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy, Beirût: Dâr al-Ma`rifah, 1379 M.

`Abd al-`Azhîm ibn `Abd al-Qawiy al-Mundziriy Abû Muhammad (selanjutnya disebut al-Mundziriy), naskah di-tahqîq oleh Ibrâhîm Syamsu al-Dîn, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, Beirût: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1417 H.

Al-Qurthubiy, Tafsîr al-Jâmi' li Ahkâm Al-qur’an, Beirût: Dar al-Fikr, t.th.

Abû Zakariyyâ Yahyâ ibn Syarf ibn Mary Al-Nawâwiy (selanjutnya disebut al-Nawâwiy) al-Majmû' Syarh al-Muhazzab, Dâr Ihyâ` al-Turâts al-`Arabiy, t.th. Dll.
-----------------------------------------------------, al-Adzkâr, Beirût: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-`Arabiy, t.th.

HADIS TENTANG RISYWAH (SOGOK)


Oleh: Suprizen, MA

A. PENDAHULUAN

Alhamdulillâh, Washshalâtu Wasalâmu ‘alâ Rasûlillâh wa ’alâ âlihi washah bih ajma’în, amma ba’du.
Risywah merupakan fenomena yang tidak asing dalam masyarakat kita. Banyak istilah yang digunakan untuk masalah ini, seperti dari ucapan terima kasih, parsel, money politik, uang pelicin, pungli dan lain sebagainya.

Dalam pandangan masyarakat masih beranggapan bahwa risywah bukan sebuah kejahatan, tetapi hanya kesalahan kecil. Sebagian lain, walaupun mengetahui bahwa risywah adalah terlarang, namun mereka tidak peduli dengan larangan tersebut. Apalagi karena terpengaruh dengan keuntungan yang didapatkan.

Di pihak lain masayarakat menganggap risywah itu sebagai hadiah atau tanda terima kasih. Malah ada yang beranggapan sebagai uang jasa atas bantuan yang telah diberikan seseorang, sehingga mereka tidak merasakan hal itu sebagai sebuah kesalahan atau pelangaran apalagi kejahatan.
Risywah ini sudah menjadi rahasia umum, betapa banyak risywah yang diberikan untuk mendapatkan pekerjaan, terutama menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota polisi dan tentara, dan malah di dunia pendidikan pun hal ini terjadi.

Agaknya hal ini memerlukan kajian yang mendalam, agar umat memahami dan mengerti dengan baik sehingga mereka berbuat sesuai dengan ajaran Islam. Makalah ini akan berusaha mengkaji persoalan ini sebatas litaratur yang ditemukan. Namun demikian penulis masih sangat mengharapkan masukan dari Bapak Ibu/ Saudara/i untuk memperdalam kajian ini.

B. Pengertian Risywah
Risywah secara bahasa, Risywah (رشوةِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِ) berasal dari kata rasyâ (رشا) yang berarti al-ja’lu (menyuap). rasywah adalah sesuatu yang menyampaikan pada keperluan dengan jalan menyogok (الوُصْلَةُ إِلـى الـحاجة بالـمُصانعة). Al-Râsyi adalah orang yang memberikan risywah secara bathil, al-Murtasyi adalah orang yang mengambil risywah dan al-Ra`isy adalah orang yang bekerja sebagai perantara risywah yang minta tambah atau minta kurang.

Risywah secara istilah bermakana:
الرشوة ما يعطى لإبطال حق أو لإحقاق باطل
Artinya: ”Memeberikan suatu hak untuk kebathilan atau untuk hak-hak yang bathil”.
ما يعطيه الشخص الحاكم وغيره ليحكم له أو يحمله على ما يريد وجمعها
Artinya: ”Risywah (suap) berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk

memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan”.
Dari penjelasan di atas dan beberapa litaratur lain dapat didefinisikan bahwa risywah adalah pemberian harta bergerak kepada orang lain dengan tujuan untuk menghormati (ikram), memuliakan (ta’zhim), mengasihi (tawaddud) dan mencintainya (tahabbub) ditujukan untuk hal-hal yang dilarang syara’ (haram).

C. Hadis-hadis Tentang Risywah
Ada beberapa hadis-hadis Rasulullah SAW yang melarang tentang risywah ini. Hadis-hadis tersebut antara lain sebagai berikut:
حدثنا قتيبة حدثنا أبو عوانة عن عمرو بن أبي سلمة عن أبيه عن أبي هريرة قال : لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي والمرتشي في الحكم.(رواه الترمذى).
Artinya:”Hadis diterima dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok dalam hukum”. (HR. al-Turmuzi).

حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِىُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى ذِئْبٍ عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
أَبِى سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى.(رواه الترمذى).
Artinya:”Hadis diterima dari Abdullah bin Amr, beliau berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyogok dan menerima sogok”. (HR. al-Turmuzi).

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا الأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ - يَعْنِى ابْنَ عَيَّاشٍ - عَنْ لَيْثٍ عَنْ أَبِى الْخَطَّابِ عَنْ أَبِى زُرْعَةَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ وَالرَّائِشَ. يَعْنِى الَّذِى يَمْشِى بَيْنَهُمَا. )رواه أحمد(
Artinya:”Hadis diterima dari Tsauban, beliau berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok serta orang yang menjadi perantara, yaitu orang yang berjalan di antara keduanya”. (HR. Ahmad).

أخبرنا عمران بن موسى بن مجاشع قال : حدثنا العباس ابن الوليد النرسي قال : أخبرنا أبو عوانة عن عمر بن أبي سلمة عن أبيه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ( لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم ).(صحيح ابن حبان).
Artinya:”Hadis diterima dari Abû Hurairah, beliau dari Nabi SAW ia berkata Allah melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok dalam hukum”. (HR. Shahîh Ibnu Hibbân).

أخبرنا أبو العباس محمد بن أحمد المحبوبي ثنا أحمد بن سيار ثنا القعنبي و أحمد بن يونس قالا : ثنا بن ابن أبي ذئب عن الحارث بن عبد الرحمن عن أبي سلمة عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال : لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي .(المستدراك الحاكم).
Artinya:”Hadis diterima dari ‘Abdullâh bin Umar RA, dia berkata Rasulullâh SAW melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok”. (HR. al-Mustadrak al-Hâkim).

حدثنا علي بن محمد . حدثنا وكيع . حدثنا ابن أبي ذئب عن خاله الحارث بن عبد الرحمن عن أبي سلمة عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( لعنة الله على الراشي والمرتشي ).(ابن ماجة)

Artinya:”Hadis diterima dari ‘Abdullâh bin Umar, dia berkata bersabda Rasulullâh SAW Allah melaknat (orang yang menyogok dan yang menerima sogok)”. (HR. Ibnu Mâjah).

D. Pembahasan Tentang Risywah
Hadis-hadis di atas adalah hadis-hadis yang menunjukkan tentang haramnya menerima hadiah oleh hakim dan para pemimpin lainnya,” karena termasuk risywah.
Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Quran al-Karîm sebagai berikut :

Artinya: ”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS. Al Maidah: 42).
Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkâlûna lissuhti’ dengan risywah. Jadi risywah (suap menyuap) di identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah, dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
••
Artinya: ”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188).

Jadi, diharamkan mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga mediator antara penyuap dan yang disuap. Hanya saja jumhur ulama membolehkan penyuapan yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah ke-zhalim-an seseorang. Namun orang yang menerima suap tetap berdosa.
Menurut Madzhab hanafiy, Risywah terkait dengan putusan hukum dan kekuasaan, hukumnya haram bagi yang menyuap dan yang menerimanya. Menyuap hakim untuk memenangkan perkara, hukumnya haram bagi penyuap dan yang disuap. Menyuap agar mendapatkan kedudukan/ perlakuan yang sama dihadapan penguasa dengan tujuan mencegah ke-mudharat-an dan meraih ke-maslahat-an, hukumnya haram bagi yang disuap. Sedangkan memberikan harta (hadiah) kepada orang yang menolong dalam menegakkan kebenaran dan mencegah ke-zhalim-an dengan tanpa syarat sebelumnya, hukumnya halal bagi keduanya.

Para penerima risywah (suap) baik dari penguasa, hakim, mufti (ahli fatwa), saksi dan sebagainya dalam bentuk ke-bathil-an adalah haram, sebagai keterangannya dibawah ini :
1. Penguasa dan Hakim
Ulama sepakat mengharamkan penguasa atau hakim menerima suap atau hadiah. (Kasyful Qona’: 6/316, Nihayatul Muhtaj: 8/242, al-Qurtubi: 2/340).
2. Mufti
Haram bagi seorang mufti menerima suap untuk memberikan fatwa sesuai yang diinginkan mustafti (yang meminta fatwa). (al-Raudhah: 11/111, Asnâ al-Mutahalib: 4/284)
3. Saksi
Haram bagi saksi menerima suap apabila ia menerimanya maka gugurlah kesaksiannya. (al-Muhadzâb: 2/330, al-Mughniy: 9/40 dan 160).

E. Macam-macam Risywah
Ibn ’Âbidin, dengan mengutip kitab al-Fath, mengemukakan empat macam bentuk risywah, yaitu:
1. Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
2. Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu.
3. Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak ke-mudharat-an dan mengambil mamfaat. Risywah ini haram bagi yang mengambilnya saja. Risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang berurusan dengan pemerintah. Pemberian tersebut digunakan untuk urusan seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti hadiah untuk menyenangkan orang. Akan tetapi dari satu sisi haram, karena substansinya adalah ke-zhalim-an. Oleh karena itu haram bagi yang mengambil saja, yaitu sebagai hadiah untuk menahan ke-zhalim-an dan sebagai upah dalam menyelesaikan perkara apabila disyaratkan. Namun bila tidak disyaratkan, sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah yang diberikan kepada penguasa, maka menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa (la ba`sa). Kalau seseorang melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula karena ketama’annya, maka memberikan hadiah kepadanya adalah halal, namun makruh sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud.
4. Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberikan dan haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak ke-mudharat-an dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.

Menurut Para ulama mazhab Hanafiy mereka membagi risywah (suap) menjadi empat kategori yaitu :

1. Pertama, suap supaya diangkat sebagai hakim dan pejabat (demikian pula supaya bisa menjadi PNS). Suap ini hukumnya haram bagi yang menerima dan yang menyerahkan.
2. Kedua, permintaan suap dari seorang hakim sebelum dia mengambil sebuah keputusan. Suap ini juga haram bagi yang menyerahkan dan yang menerima meski hukum yang dijatuhkan adalah hukum yang benar dan adil karena menjatuhkan hukuman yang adil adalah kewajiban seorang hakim.
3. Ketiga, menyerahkan sejumlah harta kepada seseorang dalam rangka mencegah bahaya (ke-zhalim-an) orang tersebut atau untuk mendatangkan manfaat (yaitu menerima yang menjadi haknya). Suap ini hukumnya haram untuk yang menerima saja.
4. Keempat, memberikan sejumlah harta kepada seseorang yang bisa membantu untuk mendapatkan hak. Menyerahkan dan menerima harta semisal ini hukumnya boleh karena uang yang diserahkan sebagai kompensasi bantuan itu tidak ubahnya sebagaimana upah.

F. Hukum Risywah dalam Pandangan Ulama
Berdasarkan riwayat-riwayat yang dikemukkan di atas ada tiga komponen yang mendapat kecaman dari Rasûlullah sehubungan dengan perlakuan risywah. Pertama, orang yang menyogok disebut dengan râsyi; kedua, orang yang menerima sogok disebut dengan murtasyi; dan ketiga, orang menjadi mediator dalam sogok menyogok yang disebut dengan ra`isy. Ketiga komponen ini dikecam oleh rasul dengan kata laknat, baik laknat itu datang dari Rasûlullâh SAW maupun laknat itu datang dari Allah SWT. Kedua bentuk laknat ini telah dijelaskan dalam lafazh hadis di atas.

Berdasarkan dalil-dalil yang ada, ulama sepakat melarang risywah. Malah Ibn Ruslan mengatakan sogok itu haram dengan ijmâ’ ’Ulama. Demikian juga pendapat Imam al-Mahdi dalam kitabnya al-Bahr. Dengan arti kata tidak ada ulama yang membolehkannya. Larangan ini berlaku secara umum, baik sogok dalam dunia peradilan maupun dalam bidang yang lain.

Ketika menafsirkan QS 5: 42 (اكـــلون لسحــت) al-Qurthubiy mengutip beberapa pendapat yang mengatakan bahwa dimaksud لسحــت adalah risywah (sogok). Risywah tersebut bisa dalam bentuk pemberian (hadiah) pada hakim dalam memutuskan perkara atau pemberian yang diperoleh melalui pemanfaatan kekuasaan. Dalam hal ini lebih lanjut al-Qurthubiy mengatakan tidak ada perbedaan pendapat ulama salaf tentang keharaman sogok.

Dalam riwayat dari Rasûlllâh ditemukan sogok itu dilarang dalam dunia peradilan sebagaimana riyawat Turmuzi yang diterima dari Abu Hurairah. Akan tetapi dalam dalam riwayat Turmuzi juga yang diterima dari Abdullah bin Amr dan Tsauban pelarangan sogok beralaku secara umum tanpa mengkhususkan dalam bidang peradilan. Kedua hadis ini harus dipakai sehingga pelarangan sogok berlaku di bidang apapun. Hanya saja sogok di dunia peradilan memiliki peluang yang sangat besar, karena dalam dunia peradilan perebutan hak bagi bagi orang-orang yang berperkara. Bila mana sogok dibolehkan maka hak jatuh ke tangan orang yang bukan pemiliknya.

Ada pendapat yang membolehkan sogok apabila berakaitan dengan penetapan hak. Pendapat ini dikemukkan oleh al-Mansur Billah, Abu Ja’far dan sebagian pengikut asy-Syafi’i. Namun asy-Syaukani membantahnya karena menurut keumuman hadis yang ada, sogok dilarang. Kalaupun ada perbedaan pendapat dalam hal ini dianggap tidak sah, karena tidak mempengaruhi hukum yang telah ditetapkan. Mengkhususkan kebolehan sogok terhadap penetapan hak tidak ada dalil. Oleh karena itu harus berlaku keumuman hadis yang melarang sogok dalam bentuk apapun.

Selanjutnya asy-Syaukani mengemukakan argumen bahwa pada dasarnya harta seorang muslim itu haram sebagaimana terdapat dalam QS 2:188. Tidak halal menggunakan harta seorang muslim kecuali apabila diperoleh dengan cara yang baik dan benar. Harta dapat diperoleh secara tidak halal melalui dua kemungkinan. Pertama, diperoleh dengan cara yang benar, tetapi tidak halal. Kedua, dengan cara yang tidak benar dan tidak halal. Sedangkan menyogok untuk mendapatkan hak walapun benar tetap tidak halal, karena sogok di samping memakan harta orang lain, dia juga menyulitkan dan memberatkan seseorang.

Selain pendapat di atas ditemukan juga riwayat dari Wahab bin Munabbih, ketika dia ditanya tentang risywah: apakah semuanya haram ? Beliau menjawab: tidak, risywah yang diberikan bukan untuk memperoleh milik atau untuk memelihara agama, darah dan harta hukumnya makruh, tidak haram dan boleh dilakukan.

G. KESIMPULAN
Risywah adalah pemberian harta bergerak kepada orang lain dengan tujuan untuk menghormati (ikram), memuliakan (ta’zhim), mengasihi (tawaddud) dan mencintainya (tahabbub) ditujukan untuk hal-hal yang dilarang syara’ (haram).

Apabila tujuan seseorang memberikan harta kepada orang lain untuk hal-hal yang tidak dilarang oleh syara’, maka harta tersebut dinamakan hadiah, yaitu pemberian yang dilakukan dengan suka rela tanpa ada paksaan dan embel-embel lain.
Dari beberapa hadis dan penjelasan dari al-Qur’an bahwa risywah itu dilarang bahkan dilaknat oleh Allah dan Rasulullah SAW baik orang yang menyogok (disebut dengan râsyi), orang yang menerima sogok (disebut dengan murtasyi) dan orang menjadi mediator dalam sogok menyogok yang (disebut dengan ra`isy)

Dari beberapa pendapat ulama seperti yang telah dijelaskankan sebelumnya bahwa ijma’ (sepakat) mengharamkannya, kecuali madzhab Abû Hanifah yang mengecualikan dengan memberikan sejumlah harta kepada seseorang yang bisa membantu untuk mendapatkan hak, menyerahkan dan menerima harta, semisal ini hukumnya boleh karena uang yang diserahkan sebagai kompensasi bantuan itu tidak ubahnya sebagaimana upah.

Semoga dengan kehadiran makalah ini menjadi wacana bagi kita untuk mengungkap larangan risywah dalam al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW.
Penulis mengharapkan partisipasi kepada Bapak Ibu Saudara/i dan kepada semua pembaca dalam memberikan masukan dan kritikan untuk menjadikan tulisan inii lebih sempurna adanya. Wa Allahu a’lam.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abû ‘Abdullah, Ahmad bin Muhammad bin Hanbâl bin Hilâlbin Asad al-Saiybâniy (disebut juga Abû Abdullâh), Musnad Ahmad, Mesir: Mawqi’ wa Zarah al-Awqâf, tth.
Amin, Muhammad, Hasyiyah Ibn Abidin, Beirut: Darul Fikri, 1386 H.
Abû Hâtin, Muhammad bin Hibbân bin Muhammad al-Tamîmî al-Bastî, Shahîh Ibnu Hibbân bi Tartîb Ibnu Balbân, Beirut: al-Muassasah al-Risâlah, 1993, cet. Ke-11.
Abû Muhammad, Ali bin Ahmad bi Hazm al-Andalusi, al-Muhallâ bi al-Atsârî Syarh al-Majallî bi al-Ikhtishâr, Beirût: Dâr al-Fikr, tth, Juz 7.
Al-Hâkim, Muhammad bin ‘Abdullah Abû ‘Abdullâh al-Naisabûrî, al-Mustadrak ‘ala shahîhain pen-tahqîq, Mushthafâ ‘Abd al-Qadir ‘Athâ, Beirût: Dâr al-Kutub al’Ilmiyyah, 1990, cet. Ke- I. Juz. 4.
Ibnu Manzhûr, Muhammad bin Mukarram al-Afrîqî al-Mishrî (disebut juga Ibnu Manzhûr), Lisân al-‘Arab, Beirût: Dâr al-Shâdr, tth, cet. Ke-I, juz. 14.
Al-Jurjânî, ‘Alî bin Muhammad bin ‘Alî (disebut juga al-Jurjânî), al-Ta’rîfât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, 1405 H. cet. Ke-I.
Al-Mahdi, Imâm, Al-Bahr al-Râiq Syarh Daqâiq, ttp: al-Mawqi’ al-Islâmî, tth, juz. 13.
Al-Mayûmiy, Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali al-Mqrî, al-Mishbâh al-Munîr, Beirut: al-Maktabah al’Ilmiyyah, tth, juz. I.
Al-Qazwnî, Muhammad bin Yâzid bin ‘Abdu Allâh (disebut juga Ibnu Mâjah), Sunan Ibnu Mâjah,pen-tahqîq, Ahmad Fuâd ‘Abd al-Bâqî, Dâr al-Fikr: Beirût, tth, juz. II.
Al-Qurthubî, Muhammad binAhmad bin Abî Bakr bin Farh Abû ‘Abd Allâh (disebut juga al-Qurthubî), -al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth), juz. 6.
Al-Suyuthî, Jalaluddin, Tafsîr Jalâlain, Dâr Fikr, tth, juz. I.
Al-Syaukanî, Muhammad bin Ali bin Muhammad (disebut juga al-Syaukanî), Nailul Authar, Beirut: Dar al-Jail, 1973 M, juz. 9.
Al-Tirmidziy, Muhammad bin ‘Îsa Abû Îsa al-Salamiy (disebut juga al-Tirmidziy), Al-Jâmi’ al-Shahîh Sunan Imâm al-Tirmidzi,pen-tahqiq, Ahmad Muhammad Syâkir, Beirût: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, tth, Juz. III.


"Hadis Tanawwu’ al-‘Ibâdah"

 Oleh: S u p r i z e n, MA


A. Pengertian Tanawwu’ al-‘Ibâdah
Secara bahasa Tanawwu’ al-‘Ibâdah terdiri dari dua kata yakni Tanawwu’ dan al-‘Ibâdah. Tanawwu’ berasal dari kata ناعَ- يَنُوعُ- نَوَعاناً- تَنَوَّعَ- تَنَوُّعاً yang berarti beragam atau bermacam-macam baik sedikit atau banyak. Sedangkan Ibadah ditinjau dari segi bahasa bermakna :
العبادةِ في اللغة الطاعةُ مع الخُضُوعِ.
Artinya: “Ibadah secara bahasa bermakna patuh dan tunduk.”.

Ibadah ditinjau dari segi istilah bermakna :
العبادة هو فعل المكلف على خلاف هوى نفسه تعظيما لربه

Artinya: “Ibadah adalah perbuatan si mukhallaf dalam rangka mengagungkan Tuhannya untuk menghalang hawa nafsunya”.

Dalam defenisi di atas Tanawwu’ al-‘Ibâdah dapat diartikan dengan berbagai macama bentuk ibadah yang dilakukan oleh si mukhallaf (hamba) kepada Allah subhânahu wata’âla dalam rangka mengagungkan-Nya.

Sedangkan yang dimaksud dalam pembahasan makalah ini adalah pembahasan tentang Hadits-hadits Tanawwu’ al-‘Ibâdah. Hadis-hadis Tanawwu’ al-‘Ibâdah berarti hadits-hadis yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut.

B. Contoh Hadis-hadis Tanawwu’ al-‘Ibâdah
Contoh hadis-hadis tentang ragam cara praktek ibadah dan bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

(1). Hadis-hadis yang Menjelaskan Tentang Praktek Ibadah yang Dialukan oleh Nabi Berupa Wudhû’.
عن ابن عباس رضى الله عنه قال : توضأ رسول الله صلى الله عليه وسلم مرة مرة. (رواه الجماعة الا المسلم).
Artinya: “hadis dari Ibnu ‘Abbâs RA, dia berkata,” Rasulullah Shallallâhu ‘alai wasallam ber-wudhu’ (membasuh anggota tubuh) satu kali, satu kali”.
عن عبد اللة ابن زيد: أن رسولالله صلى الله عليه و سلم توضأ مرتين مرتين. (رواه احمد و البغارى).
Artinya: “hadis dari ‘Abdullah bin Zaid, bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alai wasallam ber-wudhu’ (membasuh anggota tubuh) dua kali, dua kali”.
عن عثمان رضى الله عنه : :ان النبي صلى الله عليه و سلم توضأ ثلاثا ثلاثا. (رواه احمد و مسلم).
Artinya: “hadis dari ‘Utsman RA sesungguhnya Nabi Shallallâhu ‘alai wasallam ber-wudhû’ (membasuh anggota tubuh) tiga kali ,tiga kali”.
Tiga contoh praktek Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam ber-wudhû’ di atas merupakan ragam ibadah yang ketiganya diajarkan oleh Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan diriwayatkan dengan isnad yang shahîh.

(2). Hadits-hadits yang Menjelaskan Tentang Bacaan Nabi Berupa Basmalah di Jahar-kan atau disir-kan.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ عَنْ شُعَيْبٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ بِسْم اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ ( غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ) فَقَالَ آمِينَ فَقَالَ النَّاسُ آمِينَ وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ اللَّهُ أَكْبَرُ وَإِذَا قَامَ مِنَ الْجُلُوسِ فِي الِاثْنَتَيْنِ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .

Artinya: “hadis dari Nu’aim al-Mujamir “saya shalat dibelakang Abû Hurairah. (Dalam shalat it) dalam shalat itu Abû Hurairah membaca Bismi Allâh al-Rahmân al-Rahîm.”. setelah itu dia membaca Umm al-Qur’an (al-Fâtihah), setelah sampai kepada bacaan ghair al-maghdhûb ‘alaihim wala al-Dhâlin, lalu dia membacaâmîn dan makmum mengikutinya. Pada setiap kali sujud, di mengucapkan Allâh al-Akbar, begitu juga dia berdiri pada rakaat kedua. Setelah dia mengucapkan salam dia berkata “Demi Zat (Allah) yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya aku memperlihatkan kepada kamu semuanya (cara) shalat yang dikerjakan oleh Rasulullah.” (HR. Al-Nasâiy).

أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ قَالَ حَدَّثَنِي عُقْبَةُ بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ وَابْنُ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِي اللَّهم عَنْهممْ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَجْهَرُ بِ بِسْم اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ .

Artinya: “hadis dari Anas bin Mâlik: saya shalat debelakang Raulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, Abû Baka, ‘Umar dan Utsmân radhiyallâhu ‘anhum. Dalam shalat tersebut saya tidak mendengarkan seorang diantafa mereka yang membaca bismi Allâh al-Rahmân al-Rahîm.” (HR. Al-Nasâiy) .
Kedua contoh praktek bacaan basmalah Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam di atas merupakan ragam ibadah yang keduanya diajarkan oleh Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan diriwayatkan dengan isnad yang shahîh.

C. Metode Penyelesaian Hadis-hadis Tanawwu’ al-‘Ibâdah
Untuk menyelesaikan hadis-hadis tanawwu’ al-Ibâdah ada tiga langkah yang ditempuh secara berurutan, yaitu:

1) memperhatikan nilai dan kwalitas dari masing-masing hadis tersebut. Perlu dikaji lebih dahulu tentang status hadis itu maqbûl (Shahîh dan hasan) atau mardûd. Jika hadis tersebut tidak maqbûl, maka itu tidak tergolong kepada hadis-hadist tanawwu’ al-Ibâdah.
2) Apabila hadis tersebut sudah maqbûl barulah dikaji ajaran yang diterkandung dalam hadis tersebut. Ajaran yang dibawanya bertentangan atau tidak, jika terdapat pertentangan, maka harus dikaji lagi kemungkinan telah trjadi nasakh diantaranya. Sebab, tidak mungkin hadis Nabi bertentangan satu sama lain sedangkan umat Islam dituntut untuk beramal dengannya.
3) setelah jelas hadis itu tidak bertentangan satu sama lain, barulah hadis-hadis itu dipahami sebagai macam-macam bentuk ibadah yang diajarkan oleh Nabi. Umat Islam boleh mengamalkan salah satu dari hadis-hadis tersebut. Tidak boleh mefonis satu yang diamalkannya yang lain di tolaknya. Dalam mengamalakan ajaran agama ini tidak boleh mengatakan kenapa demikian, sedangkan umat Islam dituntut untuk mengikut saja apa adanya. Sebagaimana kaedah yang ditetapkan oleh para ulama:
الأصل فى العبادات التوقيف و الاتباع
Artinya: “Hukum asal dalam ibadah adalah menerima dan mengikuti (sebagaimana yang dijarkan oleh Rasulullah)”.

D. Beramal dengan Hadis-hadis Tanawwu’ al-‘Ibâdah
Manakah yang lebih afdhal (yang paling utama) untuk diamalkan? Dalam masalah ini perlu diperhatikan tiga hal:
(1) Memperhatikan manakah yang paling sering dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat, sebab Raulullah dan para sahabat selalu melaksanakan ibadah dalam bentuk yang utama, kecuali dalam keadaan tertentu saja.
(2) memperhatikan ajaran yang dibawa oleh hadis itu sendiri, manakah yang lebih tepat dan lengkap sesuai dengan situasi dan kondisi si pemakai. Rasulullah adakalanya mengajarkan pelaksanaan ibadah sesuai dengan situasi dan dondisi seseorang atau Rasulullah memberikan keringanan untuk melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan kemampuan dan kondisi tertentu.
(3) memperhatikan manakah di antara hadis-hadis tersebut yang lebih tinggi tingkat ke-shahîh-annya. Maka dalam hal ini tingkat kesempurnaan lebih penting untuk dijadikan yang utama.
Menetapkan pilihan untuk menentukan mana yang lebih utama harus menggunakan kriteria di atas secara berurutan. Jika syarat pertama sudah terpenuhi, maka itu suda cukup tidak perlu kriteria selanjutnya. Namun yang harus diperhatikan adalah jangan mengadakan pemilihan dengan cara benar-salah atau hitam putih untuk kriteria 2 dan 3.


E. Kesimpulan
Hadis-hadis Tanawwu’ al-‘Ibâdah adalah Hadis-hadis yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut.
Solusi untuk mengamalkan hadis-hadis tersebut adalah. Pertama, memperhatikan nilai dan kwalitas dari masing-masing hadis tersebut. Untuk menentukan hadis tersebut maqbûl dan mardûd-nya.
Kedua, Apabila hadis tersebut sudah maqbûl barulah dikaji apakah ajaran yang dibawanya bertentangan atau tidak, jika terdapat pertentangan, maka harus dikaji lagi kemungkinan telah trjadi nasakh diantaranya.
Ketiga, setelah jelas hadis itu tidak bertentangan satu sama lain, barulah hadis-hadis itu dipahami sebagai macam-macam bentuk ibadah yang diajarkan oleh Nabi. Umat Islam boleh mengamalkan salah satu dari hadis-hadis tersebut. Tidak boleh mefonis satu yang diamalkannya yang lain di tolaknya.
Sedangkan cara untuk beramal dengannya adalah, pertama, Memperhatikan manakah yang paling sering dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat. Kedua, Memperhatikan ajaran yang dibawa oleh Hadîts itu sendiri, manakah yang lebih tepat dan lengkap sesuai dengan situasi dan kondisi si pemakai. Ketiga, memperhatikan manakah di antara Hadîts-Hadîts tersebut yang lebih tinggi tingkat ke-shahîh-annya. Maka dalam hal ini tingkat kesumpurnaan lebih penting untuk dijadikan yang utama Wa Allahu a'lam.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Hakim, ‘Abdul Hamid, al-Bayân, Padang Panjang: Sa’adiyah Putra, tth).
Al-Ghazaliy, Abû Hamid Muhammad ibnu Muhammad, al-Mustashfâ min al-‘Ilmi al-Ushûl, Beirut: Dâr al-Fikr, tth, juz. I
Ibnu Manzhûr, Lisân al-‘Arab, Beirût: Dâr al-Shâdr, tth, cet. Ke-I, juz. 8.
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Beirut: Dâr al-‘Arabiyyah, 1398 H, jilid. XXII.
Al-Jurjânî, ‘Alî bin Muhammad bin ‘Alî disebut juga al-Jurjânî, al-Ta’rîfât, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, 1405 H). cet. Ke-I.
Al-Nasâiy, Abû ‘Abd al-Rahmaân bin Syu’aib ‘Ali bin Sinân bin Bakr, kitab al-Imâmah, bab Qirâah Bismi Allâh al-Rahmân al-Rahîm, hadis nomor 898. Beirût: Dâr al-Fikr, 1930/ 1348, juz. Ke-I.
Al-Syaukanî, Muhammad Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad, (selanjutnya disebut al-Syawkanî), Nayl al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadîts Saiyid al-Akhyar, Beirut: Dâr al-Fikr, 1982, cet. Ke. I.
Safri, Edi, al-Imâm Syâfi’î: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif, Padang: IAIN Imam Bonjol Padang Press, 1999.
Zulheldi, Memahami Hadis-hadis yang bertentangan kajian kritis terhadap hadis-hadis basmalah dalam Shalat Jahar dan Solusinya dari Ilmu Hadis,(Jakarta: Nuansa Madani, 2000, cet. Ke-I.
PEMAHAMAN HADIS ISBAL

Oleh:Abu Imam Yazid

Dari Ibnu ‘Umar diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:“Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” Kemudian Abu Bakar bertanya, “Sesungguhnya sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku menyingsingkannya.” Rasulullah Saw menjawab, “Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” [HR. Jama’ah, kecuali Imam Muslim dan Ibnu Majah dan Tirmidizi tidak menyebutkan penuturan dari Abu Bakar.]

Dari Ibnu ‘Umar dituturkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
“Isbal itu bisa terjadi pada sarung, sarung dan jubah. Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah swt tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah]

Kata khuyalaa’ berasal dari wazan fu’alaa’. Kata al-khuyalaa’, al-bathara, al-kibru, al-zahw, al-tabakhtur, bermakna sama, yakni sombong dan takabur.
Mengomentari hadits ini, Ibnu Ruslan dari Syarah al-Sunan menyatakan, “Dengan adanya taqyiid “khuyalaa’” (karena sombong) menunjukkan bahwa siapa saja yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki tanpa ada unsur kesombongan, maka dirinya tidak terjatuh dalam perbuatan haram. Hanya saja, perbuatan semacam itu tercela (makruh).”

Imam Nawawi berkata, “Hukum isbal adalah makruh. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Syafi’iy.”
Imam al-Buwaithiy dari al-Syafi’iy dalam Mukhtasharnya berkata, “Isbal dalam sholat maupun di luar sholat karena sombong dan karena sebab lainnya tidak diperbolehkan. Ini didasarkan pada perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra.”

Namun demikian sebagian ‘ulama menyatakan bahwa khuyala’ dalam hadits di atas bukanlah taqyiid. Atas dasar itu, dalam kondisi apapun isbal terlarang dan harus dijauhi. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu al-‘Arabiy berkata, “Tidak diperbolehkan seorang laki-laki melabuhkan kainnya melebihi mata kaki dan berkata tidak ada pahala jika karena sombong. Sebab, larangan isbal telah terkandung di dalam lafadz. Tidak seorangpun yang tercakup di dalam lafadz boleh menyelisihinya dan menyatakan bahwa ia tidak tercakup dalam lafadz tersebut; sebab, ‘illatnya sudah tidak ada. Sesungguhnya, sanggahan semacam ini adalah sanggahan yang tidak kuat. Sebab, isbal itu sendiri telah menunjukkan kesombongan dirinya. Walhasil, isbal adalah melabuhkan kain melebihi mata kaki, dan melabuhkan mata kaki identik dengan kesombongan meskipun orang yang melabuhkan kain tersebut tidak bermaksud sombong.”

Mereka juga mengetengahkan riwayat-riwayat yang melarang isbal tanpa ada taqyiid. Riwayat-riwayat itu diantaranya adalah sebagai berikut:
“Angkatlah sarungmu sampai setengah betis, jika engkau tidak suka maka angkatlah hingga di atas kedua mata kakimu. Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan. Sedangkan Allah SWT tidak menyukai kesombongan.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin Salim].

“Tatkala kami bersama Rasulullah Saw, datanglah ‘Amru bin Zurarah al-Anshoriy dimana kain sarung dan jubahnya dipanjangkannya melebihi mata kaki (isbal). Selanjutnya, Rasulullah Saw segera menyingsingkan sisi pakaiannya (Amru bin Zurarah) dan merendahkan diri karena Allah SWT. Kemudian beliau Saw bersabda, “Budakmu, anak budakmu dan budak perempuanmu”, hingga ‘Amru bin Zurarah mendengarnya. Lalu, Amru Zurarah berkata, “Ya Rasulullah sesungguhnya saya telah melabuhkan pakaianku melebihi mata kaki.” Rasulullah Saw bersabda, “Wahai ‘Amru, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Wahai ‘Amru sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang yang melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.” [HR. ath-Thabarni dari haditsnya Abu Umamah] Hadits ini rijalnya tsiqah. Dzahir hadits ini menunjukkan bahwa ‘Amru Zurarah tidak bermaksud sombong ketika melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.

Riwayat-riwayat ini memberikan pengertian, bahwa isbal yang dilakukan baik karena sombong atau tidak, hukumnya haram. Akan tetapi, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan hadits-hadits seperti ini. Kita mesti mengkompromikan riwayat-riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain yang di dalamnya terdapat taqyiid (pembatas) “khuyalaa’”. Kompromi (jam’u) ini harus dilakukan untuk menghindari penelantaran terhadap hadits Rasulullah Saw. Sebab, menelantarkan salah satu hadits Rasulullah bisa dianggap mengabaikan sabda Rasulullah Saw. Tentunya, perbuatan semacam ini adalah haram.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, yakni perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra (“Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”), menunjukkan bahwa manath (obyek) pengharaman isbal adalah karena sombong. Sebab, isbal kadang-kadang dilakukan karena sombong dan kadang-kadang tidak karena sombong. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar telah menunjukkan dengan jelas bahwa isbal yang dilakukan tidak dengan sombong hukumnya tidak haram.

Atas dasar itu, isbal yang diharamkan adalah isbal yang dilakukan dengan kesombongan. Sedangkan isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidaklah diharamkan. Imam Syaukani berkata, “Oleh karena itu, sabda Rasulullah Saw, ‘Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan.’ [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin Salim], harus dipahami bahwa riwayat ini hanya berlaku bagi orang yang melakukan isbal karena sombong. Hadits yang menyatakan bahwa isbal adalah kesombongan itu sendiri —yakni riwayat Jabir bin Salim—harus ditolak karena kondisi yang mendesak. Sebab, semua orang memahami bahwa ada sebagian orang yang melabuhkan pakaiannya melebihi mata kaki memang bukan karena sombong. Selain itu, pengertian hadits ini (riwayat Jabir bin Salim) harus ditaqyiid dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar yang terdapat dalam shahihain….Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong hadir dalam bentuk muthlaq, sedangkan hadits yang lain yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar datang dalam bentuk muqayyad. Dalam kondisi semacam ini, membawa muthlaq ke arah muqayyad adalah wajib….”

Dari penjelasan Imam Syaukani di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kesombongan adalah taqyiid atas keharaman isbal. Atas dasar itu, hadits-hadits yang memuthlaqkan keharaman isbal harus ditaqyiid dengan hadits-hadits yang mengandung redaksi khuyalaa’. Walhasil, isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidak termasuk perbuatan yang haram.

Tidak boleh dinyatakan di sini bahwa hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar tidak bisa mentaqyiid kemuthlakan hadits-hadits lain yang datang dalam bentuk muthlaq dengan alasan, sebab dan hukumnya berbeda. Tidak bisa dinyatakan demikian. Sebab, hadits-hadits tersebut, sebab dan hukumnya adalah sama. Topik yang dibicarakan dalam hadits tersebut juga sama, yakni sama-sama berbicara tentang pakaian dan cara berpakaian. Atas dasar itu, kaedah taqyiid dan muqayyad bisa diberlakukan dalam konteks hadits-hadits di atas. Ahirnya "Apa yang saya kemukakan itu adalah sebuah pendapat, saya tidak memaksakannya kepada seseorang, jika ia menyodorkan pendapat yang lebih benar, maka hendaklah dia menyodorkan juga. (Imam Abu Hanifah).














ARTI PENTING METODE PEMAHAMAN HADIS

Oleh: Suprizen, MA

          Apabila hanya berpegang kepada makna tekstual (tubuh) suatu sunnah (hadis) lalu mengabaikan roh-nya (tidak memahami konteksnya), maka tidak akan dapat memehami maksud sunnah (hadis) yang sebenarnya. Bahkan, bisa saja bertolak belakang dengannya. 

          Contoh, sikap keras orang-orang yang dengan tegas menolak mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, sebagaimana mazhab Imâm Abû Hanîfah dan pengikutnya sebagian juga yang dipegang oleh `Umar ibn `Abd al-‘Azîz dan fuqahâ’ salaf. Alasan mereka adalah karena Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam telah mewajibkan zakat pada jenis makanan-makanannya tertentu; yaitu kurma, kismis dan gandum, hal itu harus dilakukan dan tidak boleh menentang sunnah dengan logika .

          Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam sangat memperhatikan kondisi lingkungan dan waktu. Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah dengan makanan yang dimiliki masyarakat, yaitu bahan makanan yang lebih memudahkan bagi orang yang memberi dan lebih bermanfaat bagi orang yang menerima. Pada saat itu uang kontan sangat susah diperoleh oleh bangsa Arab, terutama yang tinggal di pedalaman. Apabila keadaannya telah berubah dan uang tersedia dengan mudah, sementara makanan sangat sulit, atau orang fakir tidak membutuhkan lagi dalam bentuk makanan pada hari raya tentunya dalam bentuk uang adalah cara yang termudah bagi orang yang memberi dan orang yang menerima. Cara seperti ini adalah pengamalan sunnah atas ruh dan tujuan dari tuntunan Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam. Oleh sebab itu perlunya pemahaman hadis/ sunnah melalui metode yang baku. 

          Sunnah (hadis) Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam adakalanya bisa dipahami (muhkam) secara tekstual dan adakala tidak bisa dipahami (mutasyâbih) kecuali secara kontekstual melalui metode-metode pemahaman hadis yang telah dirumuskan oleh para ahli hadis. Contoh hadis tentang keharusan mahram bagi wanita ketika bepergian. Ibnu Hibbân menyatakan:
أخبرنا الحسن بن سفيان قال: حدثنا محمد بن عبد الله بن نمير قال: حدثنا أبي قال: حدثنا عبيد الله بن عمر عن نافع: عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: ( لا تسافر المرأة إلا ومعها ذو محرم ).

“Al-Hasan ibnu Sufyân Telah mengkhabarkan kepada kami dia berkata: Muhammad ibnu `Abd Allâh ibn Namîr telah menceritakan kepada kami di telah berkata: Bapakku telah menceritakan kepada kami dia berkata: `Ubaid Allâh ibnu `Umar telah menceritakan kepada kami dari Nâfi`: dari ibnu `Umar sesungguhnya Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam bersabda: “Seorang perempuan dilarang bepergian, kecuali dengan mahramnya.”

          Hadis di atas jika dipahamai secara tekstual (lafzhiyah) akan dapat dipahami bahwa seorang perempuan tidak boleh keluar rumah baik untuk bekerja atau keperluan lain tanpa bersama mahram-nya. Tentunya akan menyulitkan perempuan pada saat-saat sekarang ini. Tetapi apabila hadis itu dipahami melalui konteksnya, maka alasan dibalik larangan itu adalah kekhawatiran akan keselamatan perempuan yang bepergian tanpa mahram. Ketika itu sarana transportasi antara lain adalah unta, keledai. Mereka biasanya menempuh perjalanan melalui padang pasir dan daerah-daerah sepi yang tidak berpenghuni . 

          Berdasarkan latar belakang kondisi alam saat itu larangan wanita keluar rumah adalah bersifat kondisional. Mahram menjadi persyaratan ketika kondisi tidak aman. Dalam kondisi aman seperti keadaan dunia saat ini, mahram yang dimaksud bukan suatu hal yang mengikat. Jika ditempat tertentu di zaman modern saat ini juga tidak aman, maka hukumnya sama dengan masa lalu. 

          Wanita keluar rumah tanpa mahram dalam kondisi yang aman hal itu tidak menjadi masalah dan tidak menyalahi hadis. Bahkan diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhâriy dari `Adiy ibn Hâtim secara marfû`. Al-Bukhâriy menyatakan:
حدثني محمد بن الحكم, أخبرنا النضر, أخبرنا إسرائيل, أخبرنا سعد الطائي أخبرنا محل بن خليفة, عن عدي بن حاتم قال: "بينا أنا عند النبي صلى الله عليه و سلم إذ أتاه رجل فشكا إليه الفاقة ثم أتاه آخر فشكا قطع السبيل فقال ( يا عدي هل رأيت الحيرة ). قلت: "لم أرها وقد أنبئت عليها". قال: "فإن طالت بك الحياة لترين الظعينة ترتحل من الحيرة حتى تطوف بالكعبة لا تخاف أحدا إلا الله".
“Muhammad ibn al-Hakim telah menceritakan kepada ku, al-Nadhir telah menceritakan kepada kami, Isrâîl telah menceritakan kepada kami, Sa`d al-Thâî telah meceritakan kepada kami, Mahl ibn Khalîfah telah menceritakan kepada kami, dari `Adî ibn Hâtim dia menyatakan: manakala saya bersama Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam tiba-tiba datang seorang laki-laki yang mengadukan kemiskinannya. Kemudian datang yang lain mengadukan perampokan di tengah jalan. Lalu Rasûlullâh bertanya kepada `Adiy : “Apakah kamu tahu negeri Hîrah (negeri dekat Kûfah di Irak). “Aku belum pernah melihatnya,” jawab `Adiy. Sekarang sudah aku jelaskan kepadamu. Kemudian Rasûlullâh bersabda: “seandainya usiamu panjang. Kamu akan melihat perempuan bepergian dari Hîrah hingga tawaf di ka`bah tidak takut kepada siapapun (dalam perjalanan) selain kepada Allah”.

          Dengan memperhatikan latar belakang historis hadis di atas jelaslah bahwa persoalan perampokan di jalan memang suatu kenyataan di masa Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam. Karena itu sangat wajar untuk melindungi kaum wanita, dalam kondisi seperti itu bagi wanita perlunya mahram saat berpergian, namun untuk masa selanjutnya ketika suasana aman wanita dapat berhaji walau tidak ditemani oleh mahram. Karena itu kiranya `Aisyah bersama istri Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam lain tidak merasa melanggar tuntunan Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam ketika berhaji pada masa `Umar tanpa ada mahram selain ditemani oleh `Utsmân ibnu `Affân dan `Abd al-Rahmân ibnu `Auf. 

           Oleh sebab itu, hadis (sunnah) sangat penting dipahami secara baik dan benar. Dan untuk memahami sunnah itu perlu ada metode-metode yang baku. Seseorang bisa saja menolak hadis shahîh karena tidak bisa dipahami , seseorang bisa saja menolak hadis shahîh karena tidak mengetahui mana yang hakikat dan mana yang majaz. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari `Aisyah. Muslim menyatakan:
حدثنا محمود بن غيلان أبو أحمد, حدثنا الفضل بن موسى السيناني, أخبرنا طلحة بن يحيى بن طلحة, عن عائشة بنت طلحة عن عائشة أم المؤمنين قالت : "قال رسول الله صلى الله عليه و سلم:" أسرعكن لحاقا بي أطولكن يدا

“Mahmûd ibn Ghailân Abû Ahmad telah menceritakan kepada kami, al-Fadhl ibnu Mûsâ al-Sainânî menceritakan kepada kami, Thalhah ibn Yahyâ ibn Thalhah mengkhabarkan kepada kami, dari `Aisyah dia menyatakan:”bersabda Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam yang paling cepat menyusulku di antara kalian sepeniggalku adalah yang paling panjang tangannya”.

          Mereka mengira yang dimaksud adalah orang yang tangannya paling panjang. Karena itu seperti yang dikatakann oleh `Aisyah radhiyallâhu `anha; mereka saling mengukur, siapa di antara mereka tangannya yang paling panjang. Bahkan menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk mengukur tangan siapa yang paling panjang? Padahal, Rasûlullâh tidak bermaksud seperti itu. Tetapi yang dia maksud adalah yang paling baik dan dermawan. Hal itu sesuai dengan fakta dikemudian hari bahwa Zainab binti Jahsy radhiyallâhu `anha meninggal lebih dahulu. Ia dikenal dengan wanita yang sangat terampil, bekerja dengan kedua tangannya dan suka bersedekah. 

          Segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatar belakangi ataupun menyebabkan terjadinya hadis-hadis. Mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis tertentu lainnya lebih tepat dipahami secara kontekstual. Pemahahaman dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berhubungan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan. Dalam pada itu, pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual dilakukan bila “dibalik” teks suatu hadis, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual) . 

          Demikian pula tidaklah seluruh yang bersumber dari Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam merupakan sunnah yang wajib diikuti. Sebab keberadaan Rasulullâh ada statusnya sebagai Rasûl dan disisi lain keberadaan Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam ada dalam statusnya sebagai manusia biasa, yaitu tidur, makan, buang hajat dan sebagainya. Oleh sebab itu sunnah ada sifatnya tasyri’iyyah dan ada sifatnya âdiyyah.


Sabtu, 04 Juni 2011

HUKUM KB

Oleh : Abu Imam

Pertama, KB dapat dipahami sebagai suatu program nasional yang dijalankan pemerintah untuk mengurangi populasi penduduk, karena diasumsikan pertumbuhan populasi penduduk tidak seimbang dengan ketersediaan barang dan jasa. Dalam pengertian ini, KB didasarkan pada teori populasi menurut Thomas Robert Malthus. KB dalam pengertian pertama ini diistilahkan dengan tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran).

Kedua, KB dapat dipahami sebagai aktivitas individual untuk mencegah kehamilan (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana (alat). Misalnya dengan kondom, IUD, pil KB, dan sebagainya. KB dalam pengertian kedua diberi istilah tanzhim an-nasl (pengaturan kelahiran).
Hukum Tahdid An-Nasl

KB dalam arti sebuah program nasional untuk membatasi jumlah populasi penduduk (tahdid anl-nasl), hukumnya haram. Tidak boleh ada sama sekali ada suatu undang-undang atau peraturan pemerintah yang membatasi jumlah anak dalam sebuah keluarga. (Lihat Prof. Ali Ahmad As-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah, [Mesir : Daruts Tsaqafah – Maktabah Darul Qur`an], 2002, hal. 53).

KB sebagai program nasional tidak dibenarkan secara syara’ karena bertentangan dengan Aqidah Islam, yakni ayat-ayat yang menjelaskan jaminan rezeqi dari Allah untuk seluruh makhluknya. Allah SWT berfirman :

“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya.” (QS Huud [11] : 6)
Selain itu, dari segi tinjauan fakta, teori Malthus batil karena tidak sesuai dengan kenyataan. Produksi pangan dunia bukan kurang, melainkan cukup, bahkan lebih dari cukup untuk memberi makan seluruh populasi manusia di dunia. Pada bulan Mei tahun 1990, FAO (Food and Agricultural Organization) mengumumkan hasil studinya, bahwa produksi pangan dunia ternyata mengalami surplus 10 % untuk dapat mencukupi seluruh populasi penduduk dunia (Prof. Ali Ahmad As-Salus, ibid., hal. 31).
Teori Malthus juga harus ditolak dari segi politik dan ekonomi global. Karena ketidakcukupan barang dan jasa bukan disebabkan jumlah populasi yang terlalu banyak, atau kurangnya produksi pangan, melainkan lebih disebabkan adanya ketidakadilan dalam distribusi barang dan jasa. Ini terjadi karena pemaksaan ideologi kapitalisme oleh Barat (negara-negara penjajah) atas Dunia Ketiga, termasuk Dunia Islam. Sebanyak 80 % barang dan jasa dunia, dinikmati oleh negara-negara kapitalis yang jumlah penduduknya hanya sekitar 25 % penduduk dunia (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga : Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang (Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1999).
Hukum Tanzhim an-Nasl

KB dalam arti pengaturan kelahiran, yang dijalankan oleh individu (bukan dijalankan karena program negara) untuk mencegah kelahiran (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana, hukumnya mubah, bagaimana pun juga motifnya (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 148).

Dalil kebolehannya antara lain hadits dari sahabat Jabir RA yang berkata,”Dahulu kami melakukan azl [senggama terputus] pada masa Rasulullah SAW sedangkan al-Qur`an masih turun.” (HR Bukhari).
Namun kebolehannya disyaratkan tidak adanya bahaya (dharar). Kaidah fiqih menyebutkan : Adh-dhararu yuzaal (Segala bentuk bahaya haruslah dihilangkan) (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir fi Al-Furu`, [Semarang : Maktabah Usaha Keluarga], hal. 59).
Kebolehan pengaturan kelahiran juga terbatas pada pencegahan kehamilan yang temporal (sementara), misalnya dengan pil KB dan kondom. Adapun pencegahan kehamilan yang permanen (sterilisasi), seperti vasektomi atau tubektomi, hukumnya haram. Sebab Nabi SAW telah melarang pengebirian (al-ikhtisha`), sebagai teknik mencegah kehamilan secara permanen yang ada saat itu (Muttafaq ‘alaih, dari Sa’ad bin Abi Waqash RA). Wallahu a’lam.


"ISLAM DAN KEJUJURAN"

Oleh : Abu Imam.

Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, terangkan kepadaku, apa yang paling berat dan apa yang paling ringan dalam beragama Islam?"

Nabi bersabda, "Yang paling ringan dalam beragama Islam ialah membaca syahadat atau kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasulullah."

"Sedang yang paling berat adalah hidup jujur (dapat dipercaya). Sesungguhnya, tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada shalat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur." (HR Ahmad Bazzar).

Kalau seseorang itu beriman, mestinya ia yang jujur. Kalau tidak jujur, berarti tidak beriman. Kalau orang rajin shalat, mestinya juga jujur. Kalau tidak jujur, berarti sia-sialah shalatnya. Kalau orang sudah berzakat, mestinya ia juga jujur. Kalau tidak jujur, berarti zakatnya tidak memberi dampak positif bagi dirinya.

Anas RA berkata, "Dalam hampir setiap khutbahnya, Nabi SAW selalu berpesan tentang kejujuran. Beliau bersabda, 'Tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur. Tidak ada agama bagi orang yang tidak konsisten memenuhi janji'."

HR Ahmad Bazzar Thobaroni menyebutkan sahabat Abu Hurairah RA berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Ciri orang munafik itu ada tiga, yaitu bicara dusta, berjanji palsu, dan ia berkhianat jika mendapat amanat (tidak jujur)'." (HR Bukhari).

Abdullah bin Utsman berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Ada empat sikap yang kalau ada pada diri seseorang maka yang bersangkutan adalah munafik tulen, yaitu kalau dapat amanat, ia berkhianat (tidak jujur); kalau berkata, selalu bohong; kalau berjanji, janjinya palsu; kalau berbisnis, licik'." (HR Bukhari Muslim).

Orang jujur itu disayangi Allah. Dan, orang yang tidak jujur dimurkai Allah SWT. Kejujuran menjadi salah satu sifat utama para Nabi, salah satu akhlak penting orang-orang yang saleh.

Kejujuran adalah kunci keberkahan. Kalau kejujuran sudah hilang di tengah-tengah masyarakat, keberkahannya pun akan hilang pula. Dan, apabila keberkahan sudah hilang, kehidupan menjadi kering, hampa tanpa makna.

Kehidupan diwarnai dengan kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, kecemasan, dan kekecewaan karena sulit mencari manusia yang jujur. Wallahu a'lam bish-shawab.