Senin, 06 Juni 2011

HADIS TENTANG RISYWAH (SOGOK)


Oleh: Suprizen, MA

A. PENDAHULUAN

Alhamdulillâh, Washshalâtu Wasalâmu ‘alâ Rasûlillâh wa ’alâ âlihi washah bih ajma’în, amma ba’du.
Risywah merupakan fenomena yang tidak asing dalam masyarakat kita. Banyak istilah yang digunakan untuk masalah ini, seperti dari ucapan terima kasih, parsel, money politik, uang pelicin, pungli dan lain sebagainya.

Dalam pandangan masyarakat masih beranggapan bahwa risywah bukan sebuah kejahatan, tetapi hanya kesalahan kecil. Sebagian lain, walaupun mengetahui bahwa risywah adalah terlarang, namun mereka tidak peduli dengan larangan tersebut. Apalagi karena terpengaruh dengan keuntungan yang didapatkan.

Di pihak lain masayarakat menganggap risywah itu sebagai hadiah atau tanda terima kasih. Malah ada yang beranggapan sebagai uang jasa atas bantuan yang telah diberikan seseorang, sehingga mereka tidak merasakan hal itu sebagai sebuah kesalahan atau pelangaran apalagi kejahatan.
Risywah ini sudah menjadi rahasia umum, betapa banyak risywah yang diberikan untuk mendapatkan pekerjaan, terutama menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota polisi dan tentara, dan malah di dunia pendidikan pun hal ini terjadi.

Agaknya hal ini memerlukan kajian yang mendalam, agar umat memahami dan mengerti dengan baik sehingga mereka berbuat sesuai dengan ajaran Islam. Makalah ini akan berusaha mengkaji persoalan ini sebatas litaratur yang ditemukan. Namun demikian penulis masih sangat mengharapkan masukan dari Bapak Ibu/ Saudara/i untuk memperdalam kajian ini.

B. Pengertian Risywah
Risywah secara bahasa, Risywah (رشوةِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِ) berasal dari kata rasyâ (رشا) yang berarti al-ja’lu (menyuap). rasywah adalah sesuatu yang menyampaikan pada keperluan dengan jalan menyogok (الوُصْلَةُ إِلـى الـحاجة بالـمُصانعة). Al-Râsyi adalah orang yang memberikan risywah secara bathil, al-Murtasyi adalah orang yang mengambil risywah dan al-Ra`isy adalah orang yang bekerja sebagai perantara risywah yang minta tambah atau minta kurang.

Risywah secara istilah bermakana:
الرشوة ما يعطى لإبطال حق أو لإحقاق باطل
Artinya: ”Memeberikan suatu hak untuk kebathilan atau untuk hak-hak yang bathil”.
ما يعطيه الشخص الحاكم وغيره ليحكم له أو يحمله على ما يريد وجمعها
Artinya: ”Risywah (suap) berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk

memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan”.
Dari penjelasan di atas dan beberapa litaratur lain dapat didefinisikan bahwa risywah adalah pemberian harta bergerak kepada orang lain dengan tujuan untuk menghormati (ikram), memuliakan (ta’zhim), mengasihi (tawaddud) dan mencintainya (tahabbub) ditujukan untuk hal-hal yang dilarang syara’ (haram).

C. Hadis-hadis Tentang Risywah
Ada beberapa hadis-hadis Rasulullah SAW yang melarang tentang risywah ini. Hadis-hadis tersebut antara lain sebagai berikut:
حدثنا قتيبة حدثنا أبو عوانة عن عمرو بن أبي سلمة عن أبيه عن أبي هريرة قال : لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي والمرتشي في الحكم.(رواه الترمذى).
Artinya:”Hadis diterima dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok dalam hukum”. (HR. al-Turmuzi).

حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِىُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى ذِئْبٍ عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
أَبِى سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى.(رواه الترمذى).
Artinya:”Hadis diterima dari Abdullah bin Amr, beliau berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyogok dan menerima sogok”. (HR. al-Turmuzi).

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا الأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ - يَعْنِى ابْنَ عَيَّاشٍ - عَنْ لَيْثٍ عَنْ أَبِى الْخَطَّابِ عَنْ أَبِى زُرْعَةَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ وَالرَّائِشَ. يَعْنِى الَّذِى يَمْشِى بَيْنَهُمَا. )رواه أحمد(
Artinya:”Hadis diterima dari Tsauban, beliau berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok serta orang yang menjadi perantara, yaitu orang yang berjalan di antara keduanya”. (HR. Ahmad).

أخبرنا عمران بن موسى بن مجاشع قال : حدثنا العباس ابن الوليد النرسي قال : أخبرنا أبو عوانة عن عمر بن أبي سلمة عن أبيه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ( لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم ).(صحيح ابن حبان).
Artinya:”Hadis diterima dari Abû Hurairah, beliau dari Nabi SAW ia berkata Allah melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok dalam hukum”. (HR. Shahîh Ibnu Hibbân).

أخبرنا أبو العباس محمد بن أحمد المحبوبي ثنا أحمد بن سيار ثنا القعنبي و أحمد بن يونس قالا : ثنا بن ابن أبي ذئب عن الحارث بن عبد الرحمن عن أبي سلمة عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال : لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي .(المستدراك الحاكم).
Artinya:”Hadis diterima dari ‘Abdullâh bin Umar RA, dia berkata Rasulullâh SAW melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok”. (HR. al-Mustadrak al-Hâkim).

حدثنا علي بن محمد . حدثنا وكيع . حدثنا ابن أبي ذئب عن خاله الحارث بن عبد الرحمن عن أبي سلمة عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( لعنة الله على الراشي والمرتشي ).(ابن ماجة)

Artinya:”Hadis diterima dari ‘Abdullâh bin Umar, dia berkata bersabda Rasulullâh SAW Allah melaknat (orang yang menyogok dan yang menerima sogok)”. (HR. Ibnu Mâjah).

D. Pembahasan Tentang Risywah
Hadis-hadis di atas adalah hadis-hadis yang menunjukkan tentang haramnya menerima hadiah oleh hakim dan para pemimpin lainnya,” karena termasuk risywah.
Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Quran al-Karîm sebagai berikut :

Artinya: ”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS. Al Maidah: 42).
Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkâlûna lissuhti’ dengan risywah. Jadi risywah (suap menyuap) di identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah, dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
••
Artinya: ”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188).

Jadi, diharamkan mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga mediator antara penyuap dan yang disuap. Hanya saja jumhur ulama membolehkan penyuapan yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah ke-zhalim-an seseorang. Namun orang yang menerima suap tetap berdosa.
Menurut Madzhab hanafiy, Risywah terkait dengan putusan hukum dan kekuasaan, hukumnya haram bagi yang menyuap dan yang menerimanya. Menyuap hakim untuk memenangkan perkara, hukumnya haram bagi penyuap dan yang disuap. Menyuap agar mendapatkan kedudukan/ perlakuan yang sama dihadapan penguasa dengan tujuan mencegah ke-mudharat-an dan meraih ke-maslahat-an, hukumnya haram bagi yang disuap. Sedangkan memberikan harta (hadiah) kepada orang yang menolong dalam menegakkan kebenaran dan mencegah ke-zhalim-an dengan tanpa syarat sebelumnya, hukumnya halal bagi keduanya.

Para penerima risywah (suap) baik dari penguasa, hakim, mufti (ahli fatwa), saksi dan sebagainya dalam bentuk ke-bathil-an adalah haram, sebagai keterangannya dibawah ini :
1. Penguasa dan Hakim
Ulama sepakat mengharamkan penguasa atau hakim menerima suap atau hadiah. (Kasyful Qona’: 6/316, Nihayatul Muhtaj: 8/242, al-Qurtubi: 2/340).
2. Mufti
Haram bagi seorang mufti menerima suap untuk memberikan fatwa sesuai yang diinginkan mustafti (yang meminta fatwa). (al-Raudhah: 11/111, Asnâ al-Mutahalib: 4/284)
3. Saksi
Haram bagi saksi menerima suap apabila ia menerimanya maka gugurlah kesaksiannya. (al-Muhadzâb: 2/330, al-Mughniy: 9/40 dan 160).

E. Macam-macam Risywah
Ibn ’Âbidin, dengan mengutip kitab al-Fath, mengemukakan empat macam bentuk risywah, yaitu:
1. Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
2. Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu.
3. Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak ke-mudharat-an dan mengambil mamfaat. Risywah ini haram bagi yang mengambilnya saja. Risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang berurusan dengan pemerintah. Pemberian tersebut digunakan untuk urusan seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti hadiah untuk menyenangkan orang. Akan tetapi dari satu sisi haram, karena substansinya adalah ke-zhalim-an. Oleh karena itu haram bagi yang mengambil saja, yaitu sebagai hadiah untuk menahan ke-zhalim-an dan sebagai upah dalam menyelesaikan perkara apabila disyaratkan. Namun bila tidak disyaratkan, sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah yang diberikan kepada penguasa, maka menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa (la ba`sa). Kalau seseorang melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula karena ketama’annya, maka memberikan hadiah kepadanya adalah halal, namun makruh sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud.
4. Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberikan dan haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak ke-mudharat-an dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.

Menurut Para ulama mazhab Hanafiy mereka membagi risywah (suap) menjadi empat kategori yaitu :

1. Pertama, suap supaya diangkat sebagai hakim dan pejabat (demikian pula supaya bisa menjadi PNS). Suap ini hukumnya haram bagi yang menerima dan yang menyerahkan.
2. Kedua, permintaan suap dari seorang hakim sebelum dia mengambil sebuah keputusan. Suap ini juga haram bagi yang menyerahkan dan yang menerima meski hukum yang dijatuhkan adalah hukum yang benar dan adil karena menjatuhkan hukuman yang adil adalah kewajiban seorang hakim.
3. Ketiga, menyerahkan sejumlah harta kepada seseorang dalam rangka mencegah bahaya (ke-zhalim-an) orang tersebut atau untuk mendatangkan manfaat (yaitu menerima yang menjadi haknya). Suap ini hukumnya haram untuk yang menerima saja.
4. Keempat, memberikan sejumlah harta kepada seseorang yang bisa membantu untuk mendapatkan hak. Menyerahkan dan menerima harta semisal ini hukumnya boleh karena uang yang diserahkan sebagai kompensasi bantuan itu tidak ubahnya sebagaimana upah.

F. Hukum Risywah dalam Pandangan Ulama
Berdasarkan riwayat-riwayat yang dikemukkan di atas ada tiga komponen yang mendapat kecaman dari Rasûlullah sehubungan dengan perlakuan risywah. Pertama, orang yang menyogok disebut dengan râsyi; kedua, orang yang menerima sogok disebut dengan murtasyi; dan ketiga, orang menjadi mediator dalam sogok menyogok yang disebut dengan ra`isy. Ketiga komponen ini dikecam oleh rasul dengan kata laknat, baik laknat itu datang dari Rasûlullâh SAW maupun laknat itu datang dari Allah SWT. Kedua bentuk laknat ini telah dijelaskan dalam lafazh hadis di atas.

Berdasarkan dalil-dalil yang ada, ulama sepakat melarang risywah. Malah Ibn Ruslan mengatakan sogok itu haram dengan ijmâ’ ’Ulama. Demikian juga pendapat Imam al-Mahdi dalam kitabnya al-Bahr. Dengan arti kata tidak ada ulama yang membolehkannya. Larangan ini berlaku secara umum, baik sogok dalam dunia peradilan maupun dalam bidang yang lain.

Ketika menafsirkan QS 5: 42 (اكـــلون لسحــت) al-Qurthubiy mengutip beberapa pendapat yang mengatakan bahwa dimaksud لسحــت adalah risywah (sogok). Risywah tersebut bisa dalam bentuk pemberian (hadiah) pada hakim dalam memutuskan perkara atau pemberian yang diperoleh melalui pemanfaatan kekuasaan. Dalam hal ini lebih lanjut al-Qurthubiy mengatakan tidak ada perbedaan pendapat ulama salaf tentang keharaman sogok.

Dalam riwayat dari Rasûlllâh ditemukan sogok itu dilarang dalam dunia peradilan sebagaimana riyawat Turmuzi yang diterima dari Abu Hurairah. Akan tetapi dalam dalam riwayat Turmuzi juga yang diterima dari Abdullah bin Amr dan Tsauban pelarangan sogok beralaku secara umum tanpa mengkhususkan dalam bidang peradilan. Kedua hadis ini harus dipakai sehingga pelarangan sogok berlaku di bidang apapun. Hanya saja sogok di dunia peradilan memiliki peluang yang sangat besar, karena dalam dunia peradilan perebutan hak bagi bagi orang-orang yang berperkara. Bila mana sogok dibolehkan maka hak jatuh ke tangan orang yang bukan pemiliknya.

Ada pendapat yang membolehkan sogok apabila berakaitan dengan penetapan hak. Pendapat ini dikemukkan oleh al-Mansur Billah, Abu Ja’far dan sebagian pengikut asy-Syafi’i. Namun asy-Syaukani membantahnya karena menurut keumuman hadis yang ada, sogok dilarang. Kalaupun ada perbedaan pendapat dalam hal ini dianggap tidak sah, karena tidak mempengaruhi hukum yang telah ditetapkan. Mengkhususkan kebolehan sogok terhadap penetapan hak tidak ada dalil. Oleh karena itu harus berlaku keumuman hadis yang melarang sogok dalam bentuk apapun.

Selanjutnya asy-Syaukani mengemukakan argumen bahwa pada dasarnya harta seorang muslim itu haram sebagaimana terdapat dalam QS 2:188. Tidak halal menggunakan harta seorang muslim kecuali apabila diperoleh dengan cara yang baik dan benar. Harta dapat diperoleh secara tidak halal melalui dua kemungkinan. Pertama, diperoleh dengan cara yang benar, tetapi tidak halal. Kedua, dengan cara yang tidak benar dan tidak halal. Sedangkan menyogok untuk mendapatkan hak walapun benar tetap tidak halal, karena sogok di samping memakan harta orang lain, dia juga menyulitkan dan memberatkan seseorang.

Selain pendapat di atas ditemukan juga riwayat dari Wahab bin Munabbih, ketika dia ditanya tentang risywah: apakah semuanya haram ? Beliau menjawab: tidak, risywah yang diberikan bukan untuk memperoleh milik atau untuk memelihara agama, darah dan harta hukumnya makruh, tidak haram dan boleh dilakukan.

G. KESIMPULAN
Risywah adalah pemberian harta bergerak kepada orang lain dengan tujuan untuk menghormati (ikram), memuliakan (ta’zhim), mengasihi (tawaddud) dan mencintainya (tahabbub) ditujukan untuk hal-hal yang dilarang syara’ (haram).

Apabila tujuan seseorang memberikan harta kepada orang lain untuk hal-hal yang tidak dilarang oleh syara’, maka harta tersebut dinamakan hadiah, yaitu pemberian yang dilakukan dengan suka rela tanpa ada paksaan dan embel-embel lain.
Dari beberapa hadis dan penjelasan dari al-Qur’an bahwa risywah itu dilarang bahkan dilaknat oleh Allah dan Rasulullah SAW baik orang yang menyogok (disebut dengan râsyi), orang yang menerima sogok (disebut dengan murtasyi) dan orang menjadi mediator dalam sogok menyogok yang (disebut dengan ra`isy)

Dari beberapa pendapat ulama seperti yang telah dijelaskankan sebelumnya bahwa ijma’ (sepakat) mengharamkannya, kecuali madzhab Abû Hanifah yang mengecualikan dengan memberikan sejumlah harta kepada seseorang yang bisa membantu untuk mendapatkan hak, menyerahkan dan menerima harta, semisal ini hukumnya boleh karena uang yang diserahkan sebagai kompensasi bantuan itu tidak ubahnya sebagaimana upah.

Semoga dengan kehadiran makalah ini menjadi wacana bagi kita untuk mengungkap larangan risywah dalam al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW.
Penulis mengharapkan partisipasi kepada Bapak Ibu Saudara/i dan kepada semua pembaca dalam memberikan masukan dan kritikan untuk menjadikan tulisan inii lebih sempurna adanya. Wa Allahu a’lam.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abû ‘Abdullah, Ahmad bin Muhammad bin Hanbâl bin Hilâlbin Asad al-Saiybâniy (disebut juga Abû Abdullâh), Musnad Ahmad, Mesir: Mawqi’ wa Zarah al-Awqâf, tth.
Amin, Muhammad, Hasyiyah Ibn Abidin, Beirut: Darul Fikri, 1386 H.
Abû Hâtin, Muhammad bin Hibbân bin Muhammad al-Tamîmî al-Bastî, Shahîh Ibnu Hibbân bi Tartîb Ibnu Balbân, Beirut: al-Muassasah al-Risâlah, 1993, cet. Ke-11.
Abû Muhammad, Ali bin Ahmad bi Hazm al-Andalusi, al-Muhallâ bi al-Atsârî Syarh al-Majallî bi al-Ikhtishâr, Beirût: Dâr al-Fikr, tth, Juz 7.
Al-Hâkim, Muhammad bin ‘Abdullah Abû ‘Abdullâh al-Naisabûrî, al-Mustadrak ‘ala shahîhain pen-tahqîq, Mushthafâ ‘Abd al-Qadir ‘Athâ, Beirût: Dâr al-Kutub al’Ilmiyyah, 1990, cet. Ke- I. Juz. 4.
Ibnu Manzhûr, Muhammad bin Mukarram al-Afrîqî al-Mishrî (disebut juga Ibnu Manzhûr), Lisân al-‘Arab, Beirût: Dâr al-Shâdr, tth, cet. Ke-I, juz. 14.
Al-Jurjânî, ‘Alî bin Muhammad bin ‘Alî (disebut juga al-Jurjânî), al-Ta’rîfât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, 1405 H. cet. Ke-I.
Al-Mahdi, Imâm, Al-Bahr al-Râiq Syarh Daqâiq, ttp: al-Mawqi’ al-Islâmî, tth, juz. 13.
Al-Mayûmiy, Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali al-Mqrî, al-Mishbâh al-Munîr, Beirut: al-Maktabah al’Ilmiyyah, tth, juz. I.
Al-Qazwnî, Muhammad bin Yâzid bin ‘Abdu Allâh (disebut juga Ibnu Mâjah), Sunan Ibnu Mâjah,pen-tahqîq, Ahmad Fuâd ‘Abd al-Bâqî, Dâr al-Fikr: Beirût, tth, juz. II.
Al-Qurthubî, Muhammad binAhmad bin Abî Bakr bin Farh Abû ‘Abd Allâh (disebut juga al-Qurthubî), -al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth), juz. 6.
Al-Suyuthî, Jalaluddin, Tafsîr Jalâlain, Dâr Fikr, tth, juz. I.
Al-Syaukanî, Muhammad bin Ali bin Muhammad (disebut juga al-Syaukanî), Nailul Authar, Beirut: Dar al-Jail, 1973 M, juz. 9.
Al-Tirmidziy, Muhammad bin ‘Îsa Abû Îsa al-Salamiy (disebut juga al-Tirmidziy), Al-Jâmi’ al-Shahîh Sunan Imâm al-Tirmidzi,pen-tahqiq, Ahmad Muhammad Syâkir, Beirût: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, tth, Juz. III.


2 komentar:

  1. assalamu'alaikum..
    ustad..kalau gaji pegawai yg menyogok,bagaimana hukum nya..haram apa halal..trmkasi

    BalasHapus
  2. @anonim, klo menurut ilmu yang saya tahu, Dalam bahasa agama, suap atau sogok menyogok diistilahkan dengan risywah, melakukan suap ketika seorang menjadi PNS, dan suap itu adalah perbuatan yang dilarang dan diharamkan, maka gaji PNS yang demikian juga haram, Wallahu A'lam Bishawab

    BalasHapus