Senin, 06 Juni 2011

HUKUM MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERDO’A

Oleh: Suprizen, MA
  بِسْمِ اللَّهِ الرَّحمنِ الرَّحِيمِ

Menurut sebagian ulama bahwa diantar a adab berdo’a yang dianjurkan adalah mengangkat kedua tangan, pendapat mereka berdasarkan kepada dalil-dalil yang shahîh bahwa mengangkat kedua tangan waktu berdo’a adalah sunnah yang dianjurkan. 

Sebagian ulama lain melarang untuk mengangkat tangan saat berdo’a, karena memang ada dalil-dalil shahîh yang menjadi dasar atas larangan itu. Sehingga sampai ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah bid'ah. Yang membuat terjadinya perbedaan pendapat adalah dalam mengambil kesimpulan hukumnya. Hadis-hadis yang menjadi pegangan mereka (membolehkan dan melarang) adalah hadis shahîh tetapi diantara hadis shahîh itu terdapat ikhtilâf (bertentangan secara makan zahirnya bukan makna sebenarnya), hadis-hadis shahîh yang saling bertentangan itu antara lain :
قَالَ أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِىُّ دَعَا النَّبِىُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ . وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رَفَعَ النَّبِىُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ »
Artinya: “Abû Musâ al-Asy`ariy berkata: “Nabi SAW berdo’a kemudian beliau mengangkat kedua tangannya, dan aku telah melihat putih ketiaknya (ketika beliau berdo’a mengangkat tangannya )”. Dan ibn `Umar berkata Nabi SAW mengangkat tangannya dan berdo’a “Allâhumma innî abra-u ilaika mimmâ shana’a Khâlid”. (HR. al-Bukhâriy).

Menurut pakar hadis, hadis di atas memiliki syawahid (banyak hadis lain yang menguatkannya). Dengan melihat banyaknya hadis yang memiliki kemiripan makna. Para pakar hadis menetapkan bahwa status hadis berdo’a dengan mengangkat kedua tangan mutawâtir ma’nawiy sehingga tidak perlu diragukan ke-shahîh-annya.
Hadis di atas shahîh, karena diriwayatkan oleh pakar kritik hadis nomor satu di dunia yaitu al-Bukhâriy. Jelas dan tegas isinya, Abû Mûsâ al-Asy'ariy melihat Rasûlullâh SAW sedang berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, bahkan sampai kedua ketiaknya tampak terlihat dan berwarna putih.

Hadis di atas menjelaskan bahwa mengangkat kedua tangan saat berdo’a pernah dilakukan oleh Rasûlullâh SAW. Hadis berikutnya masih menguatkan hadis di atas:
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِىُّ حَدَّثَنَا عِيسَى يَعْنِى ابْنَ يُونُسَ حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ - يَعْنِى ابْنَ مَيْمُونٍ صَاحِبَ الأَنْمَاطِ حَدَّثَنِى أَبُو عُثْمَانَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ « إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا ».
Artinya: “Dari Salmân al-Farisiy bahwa Rasûlullâh SAW bersabda: "Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Hidup ‏dan Maha Mulia, Dia malu kepada hamba-Nya, bila hamba itu mengangkat kedua tangannya, namun mengembalikannya dengan tangan kosong." (HR. Abû Dawud, al- Tirmidziy dan Ibnu Mâjah dari Salmân al-Farisiy).

Meskipun tidak tercantum di dalam shahîh al-Bukhâriy atau shahîh Muslim, namun para ulama menyatakan bahwa hadis ini tetap masih bisa diterima. Hadis ini bisa juga ditemukan di dalam kitab al-Targhîb wa al-Tarhîb jilid 2 halaman 195. Isi hadis ini menyebutkan tentang tata cara berdo’anya seorang hamba, yaitu dengan mengangkat kedua tangannya. Jadi, jelaslah bahwa mengangkat tangan saat berdo’a didasari oleh dalil yang bisa dipertanggung jawabkan. Bahkan menyapukan tangan ke muka juga dianjurkan, sesuai dengan hadis berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ عِيسَى الْجُهَنِىُّ عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِى سُفْيَانَ الْجُمَحِىِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ.
Artinya: “Dari `Umar ibn al-Khaththâb RA darinya, adalah Rasûlullâh SAW apabila mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, dia tidak meletakan kedua (tangannya) sehingga dia menyapu mukanya dengan kedua tangannya itu”. (HR. al-Tirmidziy dan Abû Dawud).

Menurut al-Tirmidziy hadis tersebut adalah shahîh gharîb, Syekh al-Bâniy mengatakan bahwa hadis tersebut adalah dhaîf. Menurut Ahmad ibn Hanbal, al-Nawâwiy, ibn Mubârak, al-Anbariy, Sufyân al-Tsawriy hadis dha`îf boleh dipakai untuk mengajarkan seseorang, mengancam (fadhilah), dalam soal adab, syari`ah, ketatasusilaan, kisah tauladan, sejarah peperangan dan lain-lain. 
Hadis yang menyebutkan bahwa Nabi SAW berdo’a tidak mengangkat kedua tangannya. Bunyi hadis tersebut antara lain:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَابْنُ أَبِى عَدِىٍّ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى شَىْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِى الاِسْتِسْقَاءِ ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ.
Artinya: “Dari Anâs ibn Mâlik ia berkata bahwa Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam do’anya, kecuali dalam shalat istisqâ', dan sesungguhnya beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih ketiaknya. "(HR. al-Bukhâriy dan Muslim).

Hadis inilah yang kemudian sebagian ulama mengatakan bahwa berdo’a dengan mengangkat kedua tangan hukumnya terlarang atau bid'ah. Sebab Anâs ibn Mâlik mengatakan bahwa mengangkat kedua tangan itu hanya dilakukan pada shalat istisqâ' saja. Sehingga kalau dilakukan di luar itu, hukumnya tidak boleh.
Hadis berikutnya lebih ekstrim lagi, sebab isi hadis ini melarang mengangkat tangan saat berdo’a bahkan ketika shalat istisqâ' sekalipun. Bunyi hadis tersebut adalah:
وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ.
Artinya: “Dari `Umârah ibn Ruwaibah dia berkata: aku melihat Bisyra ibn Marwân di atas mimbar mengangkat kedua tangannya. Maka dia berkata, "Semoga Allâh memburukan kedua tangan ini, sesungguhnya aku melihat Rasûlullâh SAW tidak menambahkan atas dia katakan dengan tangannya seperti ini. Dan Beliau menujukkan jarinya untuk bertasbih. (HR. Muslim).

Dari keterangan dalil-dalil di atas setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda: Pendapat pertama, mengangkat tangan ketika berdo’a hukumnya sunnah; Pendapat kedua, mengangkat kedua tangan ketika berdo’a hukumnya haram kecuali dalam Shalat Istisqâ'; Pendapat Ketiga, mengangkat kedua tangan ketika berdo’a hukumnya haram dalam semua do’a.

Lalu apa jawaban kelompok pertama? Dan apa hujjah mereka untuk menjawab pengharaman dari kelompok kedua dan ketiga?

Mereka yang mensunnahkan untuk mengangkat tangan saat berdo’a mengatakan bahwa, hujjah kelompok kedua dan ketiga kurang kuat. Bukan karena hadisnya tidak shahîh, namun karena bentuk istimbath-nya yang lemah.
Kelemahan istimbath-nya adalah bahwa larangan itu semata-mata berdasarkan penilaian Anâs ibn Mâlik seorang, bahwa Nabi SAW tidak mengangkat tangannya saat berdo’a kecuali saat istisqâ'. Penilaian ini kurang bisa dijadikan argumentasi, lantaran hanya mengklaim seseorang. Apakah Anâs ibn Mâlik telah bertanya langsung kepada Nabi SAW bahwa diri beliau tidak pernah mengangkat tangan saat berdo’a di luar shalat istisqâ'? Apakah Anâs selalu mendampingi Rasûlullâh SAW sepanjang hidupnya?
Tentunya yang bisa diterima adalah pernyataan yang bersifat itsbat (penetapan), bukan yang bersifat nafyi (peniadaan). Sebagai ilustrasi, misalnya seorang anak berkata tentang ayahnya, "Saya pernah melihat ayah minum dengan tangan kiri." Kemungkinan besar pernyataan itu benar. Tetapi kalau anak itu berkata, "Saya belum pernah melihat ayah minum dengan tangan kanan", kemungkinan besar pernyataan itu salah. Karena ayahnya hidup lebih dahulu dari anak itu. Lagi pula, tidak selamanya si anak selalu mendampingi ayahnya ke mana pun dan di mana pun. Sangat boleh jadi di luar sepengetahuan si anak, si ayah pernah minum dengan tangan kanan.

Demikian juga pernyataan Anâs ibn Mâlik, kalau dia berkata pernah melihat Nabi berdo’a dengan mengangkat tangan, kemungkinan besar pernyataan itu benar. Tapi kalau beliau mengatakan belum pernah melihat Nabi SAW berdo’a dengan mengangkat tangan, pernyataan itu benar untuk ukuran seorang Anâs, tetapi tidak bisa diartikan bahwa Rasûlullâh SAW tidak pernah melakukannya di dalam hidupnya.

Apalagi ada hadis lainnya yang menjadi muqârin (pembanding), di mana secara tegas disebutkan bahwa beliau pernah melakukanya. Maka meskipun hadis itu shahîh dan Anâs pun juga tidak bohong, namun istimbath (penyimpulan) bahwa Nabi SAW tidak pernah berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya adalah penyimpulan yang kurang tepat.

Sebagai tambahan, klau dicermati lagi lebih dalam pada teks hadis Anâs, di sana disebutkan bahwa Anâs tidak pernah melihat Nabi SAW berdo’a dengan mengangkat tangan hingga ketiaknya terlihat. Titik tekannya pada kalimat “hingga ketiaknya terlihat”.

Boleh jadi yang dimaksud oleh Anâs ibn Mâlik adalah beliau tidak pernah melihat Nabi SAW berdo’a di luar shalat istisqâ' dengan cara mengangkat kedua tangan dengan tinggi ke atas hingga kedua ketiaknya terlihat. Tetapi kalau sekedar mengangkat tangan biasa, tidak tinggi yang menyebabkan ketiak sampai terlihat, tidak termasuk dalam hadis ini. Maka boleh jadi, hadis Anâs ini tidak melarang mengangkat tangan yang biasa saja. Hadis ini hanya melarang apabila mengangkat tangannya sampai tinggi hingga ketiaknya terlihat.

Kira-kira demikian alur berpikir masing-masing ulama. Setiap orang datang dengan hujjah dan hati bersihnya sekalian. Sehingga ketika pendapatnya disanggah oleh saudaranya, hatinya tetap suci. Para ulama itu tidak pernah marah atau tersinggung ketika ada ulama lain yang pendapatnya kurang sejalan. Sebaliknya, mereka justru saling menghargai, saling memuliakan dan saling belajar antara sesama mereka. Tidak saling menghujat atau memandang rendah. Sebab mereka adalah ulama bukan sekedar merasa jadi ulama.
Diantara ulama yang membolehkan berdo’a dengan mengangkat kedua tangan adalah al-Hâfizh ibn Hajar, ulama yang menulis kitab Fath al-Bâri, sebuah kitab yang menjadi syarh (penjelasan) kitab shahîh al-Bukhâriy. Di dalam kitab yang tebalnya berjilid-jilid itu, dia mengutip begitu banyak pendapat para ulama tentang kesunnahan mengangkat tangan saat berdo’a. Ibn Hajar menjelaskan, bahwa yang dinafikan adalah cara mengangkat tangan atau batasannya, bukan boleh mengangkat tangan itu sendiri. Imâm al-Thabarâniy menukil pernyataan dari Ibnu `Umar ra, dia berkata: “Hendaknya ketika berdo’a kedua tangan diangkat hingga sejajar dengan dada”. Adapun menengadahkan kedua tangan hingga melebihi kepala, maka tata cara ini dipraktekkan pada waktu tertentu seperti shalat istisqâ’ dan ketika mubâhalah. (Fath al-Bâri 12/430).

Selain itu ada juga Imâm al-Nawâwiy rahimahullâh. Di dalam kitabnya al-Majmû' Syarh al-Muhazzab menyebutkan bahwa mengangkat kedua tangan saat berdo’a (di luar shalat istisqâ') hukumnya sunnah. Satu lagi adalah Imâm al-Qurthubiy, ulama besar asal Cordova yang menulis kitab Tafsîr al-Jâmi' li Ahkâm Al-qur’an. Beliau sebenarnya tidak mengharuskan mengangkat tangan, namun beliau membolehkannya.
Terakhir, marilah dipandang masalah khilâfiyah ini secara elegan dan dewasa serta luas wawasan. Sekarang ini bukan zamannya lagi merasa benar sendiri dan mengklaim bahwa kebenaran itu hanya milik saya sendiri atau milik kelompok saya sendiri. Semoga Allâh SWT memberikan hidâyah, taufîq dan ilmu yang luas kepada kita dan menyatukan hati kita dalam iman dan persaudaraan. Âmin. Wa Allâh A'lam.

وَالحَْمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
SUMBER BACAAN

Muhammad ibn Ismâ`il Abû `Abd Allâh al-Bukhâriy al-Ja`fiy (selanjutnya disebut al-Bukhâriy), naskah di-tahqîq oleh DR. Mushthafâ Daib al-Baghâ, al-Jâmi’ al-Shahîh al-Mukhtashar, Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/ 1987 M.

Abî Husain Muslim ibn al-Hajjâj Al-Qusyairî al-Naisâbûrî (selanjutnya disebut Muslim), naskah di-tahqîq oleh Muhammad Fu`ad `Abd al-Bâqî’, Shahîh Muslim, Beirût: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-`Arabiy, t.th.

Abî `îsâ Muhammad ibn ‘Îsâ al-Tirmidziy (selanjutnya disebut al-Tirmidziy), Sunan al-Tirmidziy, Beirût: Dâr al-Fikr, tth.

Sulaimân ibn al-Asy`ab Abû Dâud al-Sajastâniy al-Azdadiy (selanjutnya disebut Abû Dâud), naskah di-tahqîq oleh Muhammad Muhayyiy al-Dîn `Abd al-Hamîd, Sunan Abiy Dâud, Beirût: Dâr al-Fikr, t.th.

Muhammad Nâshir al-Dîn al-Bâniy (selanjutnya disebut al-Bâniy), Mukhtashar Arwâ’ al-Ghalîl fiy Takhrîj Ahâdîts Manâr al-Sabîl, (Beirût: al-Maktab al-Islâmiy, 1405 H), cet. Ke-II.

Al-Sayyid Sâbiq (disebut juga Sâbiq), Fiqh al-Sunnah, Beirût: Dâr al-Fikr, 1403 H/ 1983 M, cet. Ke-IV.

Ahmad ibn `Aliy ibn Hajar Abû al-Fadhl al-`Asqlâniy al-Syâfi`iy (selanjutnya disebut ibn Hajar), Fath al-Bâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy, Beirût: Dâr al-Ma`rifah, 1379 M.

`Abd al-`Azhîm ibn `Abd al-Qawiy al-Mundziriy Abû Muhammad (selanjutnya disebut al-Mundziriy), naskah di-tahqîq oleh Ibrâhîm Syamsu al-Dîn, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, Beirût: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1417 H.

Al-Qurthubiy, Tafsîr al-Jâmi' li Ahkâm Al-qur’an, Beirût: Dar al-Fikr, t.th.

Abû Zakariyyâ Yahyâ ibn Syarf ibn Mary Al-Nawâwiy (selanjutnya disebut al-Nawâwiy) al-Majmû' Syarh al-Muhazzab, Dâr Ihyâ` al-Turâts al-`Arabiy, t.th. Dll.
-----------------------------------------------------, al-Adzkâr, Beirût: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-`Arabiy, t.th.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar