Senin, 06 Juni 2011

ARTI PENTING METODE PEMAHAMAN HADIS

Oleh: Suprizen, MA

          Apabila hanya berpegang kepada makna tekstual (tubuh) suatu sunnah (hadis) lalu mengabaikan roh-nya (tidak memahami konteksnya), maka tidak akan dapat memehami maksud sunnah (hadis) yang sebenarnya. Bahkan, bisa saja bertolak belakang dengannya. 

          Contoh, sikap keras orang-orang yang dengan tegas menolak mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, sebagaimana mazhab Imâm Abû Hanîfah dan pengikutnya sebagian juga yang dipegang oleh `Umar ibn `Abd al-‘Azîz dan fuqahâ’ salaf. Alasan mereka adalah karena Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam telah mewajibkan zakat pada jenis makanan-makanannya tertentu; yaitu kurma, kismis dan gandum, hal itu harus dilakukan dan tidak boleh menentang sunnah dengan logika .

          Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam sangat memperhatikan kondisi lingkungan dan waktu. Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah dengan makanan yang dimiliki masyarakat, yaitu bahan makanan yang lebih memudahkan bagi orang yang memberi dan lebih bermanfaat bagi orang yang menerima. Pada saat itu uang kontan sangat susah diperoleh oleh bangsa Arab, terutama yang tinggal di pedalaman. Apabila keadaannya telah berubah dan uang tersedia dengan mudah, sementara makanan sangat sulit, atau orang fakir tidak membutuhkan lagi dalam bentuk makanan pada hari raya tentunya dalam bentuk uang adalah cara yang termudah bagi orang yang memberi dan orang yang menerima. Cara seperti ini adalah pengamalan sunnah atas ruh dan tujuan dari tuntunan Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam. Oleh sebab itu perlunya pemahaman hadis/ sunnah melalui metode yang baku. 

          Sunnah (hadis) Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam adakalanya bisa dipahami (muhkam) secara tekstual dan adakala tidak bisa dipahami (mutasyâbih) kecuali secara kontekstual melalui metode-metode pemahaman hadis yang telah dirumuskan oleh para ahli hadis. Contoh hadis tentang keharusan mahram bagi wanita ketika bepergian. Ibnu Hibbân menyatakan:
أخبرنا الحسن بن سفيان قال: حدثنا محمد بن عبد الله بن نمير قال: حدثنا أبي قال: حدثنا عبيد الله بن عمر عن نافع: عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: ( لا تسافر المرأة إلا ومعها ذو محرم ).

“Al-Hasan ibnu Sufyân Telah mengkhabarkan kepada kami dia berkata: Muhammad ibnu `Abd Allâh ibn Namîr telah menceritakan kepada kami di telah berkata: Bapakku telah menceritakan kepada kami dia berkata: `Ubaid Allâh ibnu `Umar telah menceritakan kepada kami dari Nâfi`: dari ibnu `Umar sesungguhnya Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam bersabda: “Seorang perempuan dilarang bepergian, kecuali dengan mahramnya.”

          Hadis di atas jika dipahamai secara tekstual (lafzhiyah) akan dapat dipahami bahwa seorang perempuan tidak boleh keluar rumah baik untuk bekerja atau keperluan lain tanpa bersama mahram-nya. Tentunya akan menyulitkan perempuan pada saat-saat sekarang ini. Tetapi apabila hadis itu dipahami melalui konteksnya, maka alasan dibalik larangan itu adalah kekhawatiran akan keselamatan perempuan yang bepergian tanpa mahram. Ketika itu sarana transportasi antara lain adalah unta, keledai. Mereka biasanya menempuh perjalanan melalui padang pasir dan daerah-daerah sepi yang tidak berpenghuni . 

          Berdasarkan latar belakang kondisi alam saat itu larangan wanita keluar rumah adalah bersifat kondisional. Mahram menjadi persyaratan ketika kondisi tidak aman. Dalam kondisi aman seperti keadaan dunia saat ini, mahram yang dimaksud bukan suatu hal yang mengikat. Jika ditempat tertentu di zaman modern saat ini juga tidak aman, maka hukumnya sama dengan masa lalu. 

          Wanita keluar rumah tanpa mahram dalam kondisi yang aman hal itu tidak menjadi masalah dan tidak menyalahi hadis. Bahkan diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhâriy dari `Adiy ibn Hâtim secara marfû`. Al-Bukhâriy menyatakan:
حدثني محمد بن الحكم, أخبرنا النضر, أخبرنا إسرائيل, أخبرنا سعد الطائي أخبرنا محل بن خليفة, عن عدي بن حاتم قال: "بينا أنا عند النبي صلى الله عليه و سلم إذ أتاه رجل فشكا إليه الفاقة ثم أتاه آخر فشكا قطع السبيل فقال ( يا عدي هل رأيت الحيرة ). قلت: "لم أرها وقد أنبئت عليها". قال: "فإن طالت بك الحياة لترين الظعينة ترتحل من الحيرة حتى تطوف بالكعبة لا تخاف أحدا إلا الله".
“Muhammad ibn al-Hakim telah menceritakan kepada ku, al-Nadhir telah menceritakan kepada kami, Isrâîl telah menceritakan kepada kami, Sa`d al-Thâî telah meceritakan kepada kami, Mahl ibn Khalîfah telah menceritakan kepada kami, dari `Adî ibn Hâtim dia menyatakan: manakala saya bersama Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam tiba-tiba datang seorang laki-laki yang mengadukan kemiskinannya. Kemudian datang yang lain mengadukan perampokan di tengah jalan. Lalu Rasûlullâh bertanya kepada `Adiy : “Apakah kamu tahu negeri Hîrah (negeri dekat Kûfah di Irak). “Aku belum pernah melihatnya,” jawab `Adiy. Sekarang sudah aku jelaskan kepadamu. Kemudian Rasûlullâh bersabda: “seandainya usiamu panjang. Kamu akan melihat perempuan bepergian dari Hîrah hingga tawaf di ka`bah tidak takut kepada siapapun (dalam perjalanan) selain kepada Allah”.

          Dengan memperhatikan latar belakang historis hadis di atas jelaslah bahwa persoalan perampokan di jalan memang suatu kenyataan di masa Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam. Karena itu sangat wajar untuk melindungi kaum wanita, dalam kondisi seperti itu bagi wanita perlunya mahram saat berpergian, namun untuk masa selanjutnya ketika suasana aman wanita dapat berhaji walau tidak ditemani oleh mahram. Karena itu kiranya `Aisyah bersama istri Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam lain tidak merasa melanggar tuntunan Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam ketika berhaji pada masa `Umar tanpa ada mahram selain ditemani oleh `Utsmân ibnu `Affân dan `Abd al-Rahmân ibnu `Auf. 

           Oleh sebab itu, hadis (sunnah) sangat penting dipahami secara baik dan benar. Dan untuk memahami sunnah itu perlu ada metode-metode yang baku. Seseorang bisa saja menolak hadis shahîh karena tidak bisa dipahami , seseorang bisa saja menolak hadis shahîh karena tidak mengetahui mana yang hakikat dan mana yang majaz. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari `Aisyah. Muslim menyatakan:
حدثنا محمود بن غيلان أبو أحمد, حدثنا الفضل بن موسى السيناني, أخبرنا طلحة بن يحيى بن طلحة, عن عائشة بنت طلحة عن عائشة أم المؤمنين قالت : "قال رسول الله صلى الله عليه و سلم:" أسرعكن لحاقا بي أطولكن يدا

“Mahmûd ibn Ghailân Abû Ahmad telah menceritakan kepada kami, al-Fadhl ibnu Mûsâ al-Sainânî menceritakan kepada kami, Thalhah ibn Yahyâ ibn Thalhah mengkhabarkan kepada kami, dari `Aisyah dia menyatakan:”bersabda Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam yang paling cepat menyusulku di antara kalian sepeniggalku adalah yang paling panjang tangannya”.

          Mereka mengira yang dimaksud adalah orang yang tangannya paling panjang. Karena itu seperti yang dikatakann oleh `Aisyah radhiyallâhu `anha; mereka saling mengukur, siapa di antara mereka tangannya yang paling panjang. Bahkan menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk mengukur tangan siapa yang paling panjang? Padahal, Rasûlullâh tidak bermaksud seperti itu. Tetapi yang dia maksud adalah yang paling baik dan dermawan. Hal itu sesuai dengan fakta dikemudian hari bahwa Zainab binti Jahsy radhiyallâhu `anha meninggal lebih dahulu. Ia dikenal dengan wanita yang sangat terampil, bekerja dengan kedua tangannya dan suka bersedekah. 

          Segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatar belakangi ataupun menyebabkan terjadinya hadis-hadis. Mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis tertentu lainnya lebih tepat dipahami secara kontekstual. Pemahahaman dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berhubungan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan. Dalam pada itu, pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual dilakukan bila “dibalik” teks suatu hadis, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual) . 

          Demikian pula tidaklah seluruh yang bersumber dari Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam merupakan sunnah yang wajib diikuti. Sebab keberadaan Rasulullâh ada statusnya sebagai Rasûl dan disisi lain keberadaan Rasûlullâh shallallâhu `alaihi wasallam ada dalam statusnya sebagai manusia biasa, yaitu tidur, makan, buang hajat dan sebagainya. Oleh sebab itu sunnah ada sifatnya tasyri’iyyah dan ada sifatnya âdiyyah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar